Featured Content Slider

Latest Post

Do'a Mohon Perlindungan Dari Keburukan Miskin Dan Kaya

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Saat ini kami akan menyajikan kembali kumpulan do’a singkat namun penuh makna. Do’a ini disajikan oleh Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah dalam kitabnya Riyadhus Sholihin. Do’a yang akan kita angkat adalah do’a berlindung dari keburukan kaya dan fakir. Do’a ini teramat penting bagi kita karena kadang kekayaan dan kemiskinan mendatangkan kebaikan, kadang pula mendatangkan keburukan. Semoga bermanfaat.
Hadits selengkapnya sebagai berikut.
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى الرَّازِىُّ أَخْبَرَنَا عِيسَى حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رضى الله عنها أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَدْعُو بِهَؤُلاَءِ الْكَلِمَاتِ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ النَّارِ وَعَذَابِ النَّارِ وَمِنْ شَرِّ الْغِنَى وَالْفَقْرِ ».


Telah menceritakan kepada Kami Ibrahim bin Musa Ar Razi, telah memberitakan kepadaku Isa telah menceritakan kepada Kami Hisyam dari ayahnya dari Aisyah radhiyallahu 'anha bahwa Nabishallallahu 'alaihi wa sallam pernah berdoa dengan kalimat-kalimat ini, yaitu:
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ النَّارِ وَعَذَابِ النَّارِ وَمِنْ شَرِّ الْغِنَى وَالْفَقْرِ
"ALLAAHUMMA INNII A'UUDZU BIKA MIN FITNATIN NAAR WA 'ADZAABIN NAAR, WA MIN SYARRIL GHINAA WAL FAQR" (Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari fitnah Neraka dan adzab Neraka, serta dari keburukan kekayaan dan kefakiran)." (HR. Abu Daud no. 1543. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Faedah dari do’a di atas:
Pertama: Pentingnya berlindung dari adzab (siksa) neraka.
Kedua: Adzab neraka biasa ditimpakan bagi orang-orang kafir. Sedangkan ahli tauhid yang mereka mampir dulu di neraka sebab dosa-dosa mereka, mereka bukan diadzab. Mereka hanya dibersihkan dari dosa yang mereka perbuat.[1] Demikian keterangan dari penulis ‘Aunul Ma’bud, Al ‘Azhim Abadirahimahullah.
Ini menunjukkan bahwa selama seseorang bertauhid atau beriman dengan benar, jika ia masuk neraka, ia tidak akan kekal di dalamnya.
Ketiga: Permintaan diselamatkan dari siksa neraka mengandung permintaan agar kita dibebaskan dari berbagai sebab yang menjerumuskan ke dalam neraka yaitu dengan dijauhkan dari berbagai perbuatan yang haram dan dosa, dan diberi petunjuk untuk meninggalkan hal-hal syubhat (yang masih samar/abu-abu) dan hal-hal yang haram. –Demikian keterangan dari Ibnu Katsirrahimahullah-.[2]
Keempat: Di antara jalan selamat dari neraka adalah dengan melatih diri untuk bersyukur, bersabar dan tidak melupakan dzikir pada Allah. Ada perkataan yang amat baik dari Al Qosim bin ‘Abdirrahman,
من أعطي قلبا شاكرًا، ولسانًا ذاكرًا، وجسدًا صابرًا، فقد أوتي في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة، ووقي عذاب النار.
Barangsiapa yang dianugerahkan hati yang selalu bersyukur, lisan yang selalu berdzikir, jasad yang selalu bersabar, sungguh ia akan diberi kebahagiaan dunia, kebahagiaan akhirat dan diselamatkan dari siksa neraka.”[3]
Kelima: Berlindung dari fitnah neraka dapat berarti berlindung dari siksa yang akan menjerumuskan dalam neraka, yang mana siksa tersebut akan terus berulang ketika seseorang di dalamnya.
Juga yang dimaksud dengan berlindung dari fitnah neraka adalah berlindung dari pertanyaan penjaga neraka, di mana maksud pertanyaan tersebut untuk menjelekkan orang yang masuk ke dalamnya. Pengertian kedua ini adalah isyarat dari firman Allah Ta’ala dalam surat Al Mulk,
كُلَّمَا أُلْقِيَ فِيهَا فَوْج سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِير
Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka: "Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?" (QS. Al Mulk: 8) –Demikian penjelasan menarik dari penulis ‘Aunul Ma’bud-[4].
Keenam: Pentingnya berlindung dari kekayaan yang dapat membawa pada keburukan. Yang dimaksudkan di sini adalah sifat sombong dan melampaui batas terhadap kekayaan yang diberikan. Yang dimaksudkan juga adalah menggunakan harta untuk hal-hal yang diharamkan atau hal maksiat, juga untuk saling berbangga dengan harta dan kedudukan.[5] Semoga Allah melindungi kita dari sifat yang buruk karena harta.
Ketujuh: Pentingnya berlindung dari kefakiran (kemiskinan) yang mengandung kejelekan. Yang dimaksudkan di sini adalah sifat hasad[6] (dengki) dengan orang-orang kaya dan begitu tamak dengan harta-harta mereka. Juga yang dimaksudkan keburukan miskin adalah menghinakan diri (dengan meminta-minta atau mengemis) sehingga merendahkan kehormatan dan merusak agama. Yang dimaksudkan keburukannya lagi adalah tidak ridho dengan ketentuan Allah yang telah membagi rizki pada setiap makhluk dengan begitu adilnya.[7]
Kedelapan: Dalam lafazh lainnya dalam sunan At Tirmidzi, digunakan lafazh syarri fitnatil ghina (شَرِّ فِتْنَةِ الْغِنَى) dan syarri fitnatil faqr (شَرِّ فِتْنَةِ الْفَقْرِ).[8] Yang dimaksud fitnah kaya dan miskin bisa berarti ujian atau cobaan.[9] Bisa jadi kekayaan dan kemiskinan adalah cobaan yang Allah beri. Dengan kekayaan mampukah seseorang untuk bersyukur. Dengan kemiskinan bernarkah ia mampu bersabar. Jadi keduanya bisa jadi ujian.
Kesembilan: Kekayaan dan kemiskinan kadang bisa membawa pada kebaikan dan kadang pula bisa membawa pada kerusakan.

Semoga sajian singkat ini bermanfaat dan bisa kita amalkan.
Hanya Alah yang beri taufik.

Diselesaikan di pagi hari penuh berkah, di Panggang-South Mountain, 14 Rajab 1431 H (27/06/2010)
(rumaysho.com)
Yang selalu mengharapkan ampunan Rabbnya: Muhammad Abduh Tuasikal


[1] ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, Al ‘Azhim Abadi Abuth Thoyib, 4/282, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut, cetakan kedua, 1415 H.
[2] Tafsir Al Qu’ran Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 2/263, Muassasah Qurthubah (Surat Al Baqarah ayat 201).
[3] Idem
[4] Lihat ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, 4/282.
[5] Lihat Idem
[6] Yang namanya hasad (dengki) -kata para ulama- adalah sekedar benci terhadap nikmat yang diberikan pada orang lain. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
ان الحسد هو البغض والكراهة لما يراه من حسن حال المحسود
Hasad adalah sekedar benci dan tidak suka terhadap kebaikan yang ada pada orang lain yang ia lihat.” (Amrodhul Qulub wa Syifauha, hal. 31, Dar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, 1424 H)
[7] Lihat Idem
[8] HR. At Tirmidzi no. 3495. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[9] Lihat ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, 4/282.
READMORE
 

5 Tempat Yang Mustajab Untuk Berdoa

Sebagai muslim, pasti mas/jeng pernah mendengar tentang waktu-waktu yang paling baik untuk berdoa, karena waktu itulah saat di mana permohonan doa akan lebih utama untuk dikabulkan, misalnya pada sepertiga malam, antara adzan dan iqomah, dll.
Tak hanya pada waktu-waktu tertentu, ternyata terdapat pula tempat-tempat yang mustajab untuk berdoa. Tempat ini terletak pada dua kota suci di dunia, tak lain yaitu Mekah dan Madinah. Karena begitu tingginya keutamaan tesebut, banyak orang yang direkomendasikan untuk berdoa di tempat ini dengan harapan doanya bisa dikabulkan. Nah, mana saja tempat-tempat mustajab untuk berdoa? Berikut penjelasannya.

1. Multazam
“Multazam adalah tempat dikabulkannya doa. Tidak ada satu pun doa seorang hamba di Multazam kecuali akan dikabulkan.” (HR. Ahmad)
Multazam terletak mulai dari Hajar Aswad hingga pintu Ka’bah (lihat Gambar 1). Terdapat perbedaan pendapat yang menerangkan bahwa doa yang dipanjatkan sebaiknya dilakukan serta dengan wajah, lengan, dan dada ditempelkan pada multazam. Pendapat lainnya adalah mustajabnya doa sudah dapat diperoleh apabila doa dipanjatkan sejajar dengan multazam tanpa perlu menyentuhnya.

Gambar 1
2. Hijr Ismail
Hijr Ismail merupakan bagian dari Ka’bah, berbentuk setengah lingkaran yang berada di sisi kiri dari pintu Ka’bah (lihat Gambar 2). Dinamakan Hijr Ismail karena tempat ini pernah menjadi tempat berteduh Siti Hajar dan anaknya, Nabi Ismail as.
Pada titik inti dari Hijr Ismail, di atasnya terdapat talang emas Ka’bah yang (konon) di bawah talang emas inilah tempat paling mustajabnya doa dari titik-titik lain di dalam Hijr Ismail. Disunnatkan bagi muslim untuk shalat sunnat 2 rakaat di Hijr Ismail. Perlu ditekankan bahwa ibadah shalat ini tidak termasuk dalam rukun atau syarat umroh/haji.
Gambar 2
3. Hajar Aswad
Siapa yang tak pernah mendengar Hajar Aswad? Hajar Aswad merupakan batu terakhir pemberian malaikat Jibril yang kemudian diletakkan oleh Nabi Ibrahim untuk menyelesaikan pembangunan Ka’bah.
Hajar Aswad terletak di sebelah kiri pintu Ka’bah (lihat Gambar 1). Berdoa sembari mencium Hajar Aswad merupakan doa yang sangat mustajab untuk dikabulkan. Konon, batu ini berwarna putih bersih. Namun, akibat banyaknya umat muslim yang menyentuhnya maka ia berubah menjadi hitam. Hajar Aswad pun pernah dicuri dan jatuh hingga pecah berkeping-keping. Oleh karena itu, Hajar Aswad yang saat ini tertanam di Ka’bah bukanlah sepenuhnya merupakan Hajar Aswad. Hanya beberapa titik batuan yang mengandung Hajar Aswad karena ia sudah dicampur dengan batuan lain. Maka cermatlah bagi yang ingin menciumnya. Pastikan bahwa ia benar-benar Hajar Aswad, bukan batuan lain.
4. Rukun Yamani
“Ada 70 malaikat yang memegang rukun Yamani. Barangsiapa berdoa, ‘Ya Allah, berilah aku ampunan dan kesehatan di dalam agama, dunia, dan akhirat. Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan jauhkanlah diri kami dari siksa api neraka’ maka 70 malaikat tersebut akan berkata, ‘Amin, kabulkanlah doanya’.” (HR. Ibnu Majah)
Dapat dilihat bahwa hadits di atas mengandung ‘Doa Sapu Jagat’. Doa inilah yang dibaca ketika muslim sedang melakukan tawaf di antara Rukun Yamani dan Hajar Aswad.
Rukun Yamani itu sendiri merupakan sudut (lihat Gambar 3) sebelum muslim mencapai Hajar Aswad jika sedang melakukan tawaf.
Gambar 3
5. Raudhah
Raudhah memiliki arti ‘taman’. Jika empat tempat di atas terletak di Mekah, tempat yang satu ini terletak di Madinah, tepatnya di dalam Masjid Nabawi. Raudhah merupakan sebuah area kecil yang terletak di antara mimbar imam Masjid Nabawi dengan makam Nabi Muhammad saw, Abu Bakar As siddiq, dan Umar bin Khatab.
Di dalam raudhah, muslim sebaiknya melaksanakan shalat sunnat sejumlah empat 4 rakaat kemudian berdoa. Untuk jemaat laki-laki, raudhah dibuka 24 jam sehingga melaksanakan shalat wajib berjamaah pun dapat dilakukan di sini. Sedangkan untuk jemaat perempuan hanya dibuka pada waktu-waktu tertentu (ba’da shalat subuh-pukul 11.00, ba’da dzuhur-masuk shalat ashar, ba’da isya-pukul 00.00).
Nah itu tadi lima tempat mustajab untuk berdoa yang terletak di kota suci. Semoga mas/jeng dan tentunya penulis dapat diberi kesempatan untuk mengunjungi tempat-tempat tersebut dalam sisa umur ini. Amin.
InsyaAllah Tgl 1 Dzulhijjah 1433 H jatuh pd Rabu, 17 Okt 2012. Hari Raya Idul Adha jatuh hr Jumat, 26 Okt 2012.
Puasa Arafah jth pd kamis 25 Okt 2012. Semangat beramal sholih di awal Dzulhijjah (sm/
READMORE
 

Berdoa Dengan Mengangkat Tangan

Mengangkat tangan dalam berdoa merupakan etika yang paling agung dan memiliki keutamaan mulia serta penyebab terkabulnya doa. 

Dari Salman Al-Farisi Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Sesungguhnya Rabb kalian Maha Hidup lagi Maha Mulia, Dia malu dari hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya (meminta-Nya) dikembalikan dalam keadaan kosong tidak mendapat apa-apa". [Sunan Abu Daud, kitab Shalat bab Doa 2/78 No.1488, Sunan At-Tirmidzi, bab Doa 13/68. Musnad Ahmad 5/438. Dishahihkan Al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud].

Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa lafazh hayyun berasal dari lafazh haya' yang bermakna malu. Allah memiliki sifat malu yang sesuai dengan keagungan dzat-Nya kita beriman tanpa menggambarkan sifat tersebut. Lafazh kariim yang berarti Maha Memberi tanpa diminta dan dihitung atau Maha Pemurah lagi Maha Memberi yang tidak pernah habis pemberian-Nya, Dia dzat yang Maha Pemurah secara mutlaq. Lafazh an yarudahuma shifron artinya kosong tanpa ada sesuatu. [Mur'atul Mafatih 7/363]
Dari Anas Radhiyalahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak berdoa dengan mengangkat tangan kecuali dalam shalat Istisqa. [Shahih Al-Bukhari, bab Istisqa' 2/12. Shahih Muslim, kitab Istisqa' 3/24].

Imam Hafizh Ibnu Hajar berkata bahwa hadits tersebut tidak menafikan berdoa dengan mengangkat tangan akan tetapi menafikan sifat dan cara tertentu dalam mengangkat tangan pada saat berdoa, artinya mengangkat tangan dalam doa istisqa' memiliki cara tersendiri mungkin dengan cara mengangkat tangan tinggi-tinggi tidak seperti pada saat doa-doa yang lain yang hanya mengangkat kedua tangan sejajar dengan wajah saja.

Berdoa dengan mengangkat tangan hingga sejajar dengan kedua pundak tidaklah bertentangan dengan hadits di atas sebab beliau pernah berdoa mengangkat tangan hingga kelihatan putih ketiaknya, maka boleh mengangkat tangan dalam berdoa hingga kelihatan ketiaknya, akan tetapi di dalam shalat istisqa dianjurkan lebih dari itu atau mungkin pada shalat istisqa kedua telapak tangan diarahkan ke bumi dan dalam doa selainnya kedua telapak tangan diarahkan ke atas langit.

Imam Al-Mundziri mengatakan bahwa jika seandainya tidak mungkin menyatukan hadits-hadits diatas, maka pendapat yang menyatakan berdoa dengan mengangkat tangan lebih mendekati kebenaran sebab banyak sekali hadits-hadits yang menetapkan mengangkat tangan dalam berdoa, seperti yang telah disebut Imam Al-Mundziri dan Imam An-Nawawi dalam Syarah Muhadzdzab dan Imam Al-Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad. Adapun hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari 'Amarah bin Ruwaibah bahwa dia melihat Bisyr bin Marwan mengangkat tangan dalam berdoa, lalu mengingkarinya kemudian berkata : "Saya melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak lebih dari ini sambil mengisyaratkan jari telunjuknya. Imam At-Thabari meriwayatkan dari sebagian salaf bahwa disunnahkan berdoa dengan mengisyaratkan jari telunjuk. Akan tetapi hadits di atas terjadi pada saat khutbah Jum'at dan bukan berarti hadits tersebut menafikan hadits-hadits yang menganjurkan mengangkat tangan dalam berdoa. [Fathul Bari 11/146-147].

Akan tetapi dalam masalah ini terjadi kekeliruan, sebagian orang ada yang berlebihan dan tidak pernah sama sekali mau meninggalkan mengangkat tangan, dan sebagian yang lainnya tidak pernah sama sekali mengangkat tangan kecuali waktu-waktu khusus saja, serta sebagian yang lain di antara keduanya, artinya mengangkat tangan pada waktu berdoa yang memang dianjurkan dan tidak mengangkat tangan pada waktu berdoa yang tidak ada anjurannya. Imam Al-'Izz bin Abdussalam berkata bahwa tidak dianjurkan mengangkat tangan pada waktu membaca doa iftitah atau doa diantara dua sujud. Tidak ada satu haditspun yang shahih yang membenarkan pendapat tersebut.

Begitupula tidak disunahkan mengangkat tangan tatkala membaca doa tasyahud dan tidak dianjurkan berdoa mengangkat tangan kecuali waktu-waktu yang dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengangkat tangan. [Fatawa Al-Izz bin Abdussalam hal. 47].

Syaikh Bin Baz berkata bahwa dianjurkan berdoa mengangkat tangan karena demikian itu menjadi penyebab terkabulnya doa, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Sesungguhnya Tuhan kalian Maha Hidup lagi Maha Mulia, Dia malu kepada hamba-Nya yang mengankat kedua tangannya (meminta-Nya), Dia kembalikan dalam keadaan kosong tidak mendapat apa-apa". [Hadits Riwayat Abu Dawud].

Dan sanda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Sesungguhnya Allah Maha Baik tidak menerima kecuali yang baik dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman seperti memerintahkan kepada para rasul".

Allah berfirman.

"Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah". [Al-Baqarah : 172].

Dan firman Allah : "Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan". [Al-Mukminuun : 51]

Kemudian beliau menyebutkan seseorang yang lusuh mengangkat kedua tangannya ke arah langit berdoa : 'Ya Rabi, ya Rabbi tetapi makanannya haram, minumannya haram dan pakaiannya haram serta darah dagingnya tumbuh dari yang haram, bagaimana doanya bisa dikabulkan .?" [Shahih Muslim, kitab Zakat 3/85-86]

Tidak dianjurkan berdoa mengangkat tangan bila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengangkat kedua tangannya pada waktu berdoa seperti berdoa pada waktu sehabis salam dari shalat, membaca doa di antara dua sujud dan membaca doa sebelum salam dari shalat serta pada waktu berdoa dalam khutbah Jum'at dan Idul fitri, tidak pernah ada hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat tangan pada waktu waktu tersebut.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah panutan kita dalam segala hal, apa yang ditinggalkan dan apa yang dilaksanakan semuanya suatu yang terbaik buat umatnya, akan tetapi jika dalam khutbah Jum'at khatib membaca doa istisqa', maka dianjurkan mengangkat tangan dalam berdoa sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallah 'alaihi wa sallam. [Shahih Al-Bukhari, bab Istisqa', bab Jamaah Mengangkat Tangan Bersama Imam 2/21].

Dianjurkan mengangkat tangan dalam berdoa setelah shalat sunnah tetapi lebih baik jangan rutin melakukannya karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak rutin melakukan perbuatan tersebut dan seandainya demikian, maka pasti kita menemukan riwayat dari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam terlebih para sahabat selalu menyampaikan segala tindakan dan ucapan beliau baik dalam keadaan mukim atau safar.

Adapun hadits yang berbunyi :

"Artinya : Shalat adalah ibadah yang membutuhkan khusyu' dan berserah diri, maka angkatlah kedua tanganmu dan ucapkanlah : Ya Rabbi, ya Rabbi". [Hadits Dhaif, Fatawa Muhimmmah hal. 47-49].

Dan tidak dianjurkan mengangkat tangan dalam membaca doa thawaf sebab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkali-kali melakukan thawaf tidak ada satu riwayatpun yang menjelaskan bahwa beliau berdoa mengangkat tangan pada saat thawaf.

Sesuatu yang terbaik adalah mengikuti ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sesuatu yang terburuk adalah mengikuti perbuatan bid'ah.

Cara Mengangkat Tangan Dalam Berdoa.

Ibnu Abbas berpendapat bahwa cara mengangkat tangan dalam berdoa adalah kedua tangan diangkat hingga sejajar dengan kedua pundak, dan beristighfar berisyarat dengan satu jari, adapun ibtihal (istighasah) dengan mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi. [Sunan Abu Daud, bab Witir, bab Doa 2/79 No. 14950. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud].

Imam Al-Qasim bin Muhammad berkata bahwa saya melihat Ibnu Umar berdoa di Al-Qashi dengan mengangkat tangannya hingga sejajar dengan kedua pundaknya dan kedua telapak tangannya dihadapkan ke arah wajahnya. [Dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 11/147. Dinisbatkan kepada AL-Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad tetapi tidak ada].

Ketahuilah Bahwa Doa Istisqa' Memiliki Dua Cara

Pertama.
Mengangkat kedua tangan dan mengarahkan kedua telapak tangan ke wajah, berdasarkan dari Umair Maula Abi Al-Lahm bahwa dia melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa istisqa di Ahjari Zait dekat dengan Zaura' sambil berdiri mengangkat kedua telapak tangannya tidak melebihi di atas kepalanya dan mengarahkan kedua telapak tangan ke arah wajahnya. [Sunan Abu Daud, kitab Shalat bab Raf'ul Yadain fil Istisqa' 1/303 No. 1168. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud 1/226 No. 1035].

Kedua
Mengangkat tagan tinggi-tinggi dan mengarahkan luar telapak tangan ke arah langit dan dalam telapak tangan ke arah bumi. Dari Anas bahwa beliau melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa saat istisqa dengan mengangkat tangan tinggi-tinggi dan mengarahkan telapak tangan sebelah dalam ke arah bumi hingga terlihat putih ketiaknya. [Sunan Abu Daud, kitab Shalat bab Raf'ul Yadain fil Istisqa' 1/303 No. 1168. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud 1/226 No. 1035].

[Disalin dari buku Jahalatun nas fid du'a, edisi Indonesia Kesalahan Dalam Berdoa oleh Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih, hal 61-69 terbitan Darul Haq, penerjemah Zaenal Abidin Lc] (Oleh Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih) almanhaj
READMORE
 

Maulana Abul Kalam Azad : Pelopor Nasionalisme dan Sekularisme Kaum Muslim India


Maryam Jameelah
Penulis buku "Islam and Modernism"


“Kesalahan paling mendasar kaum Muslim adalah menafsirkan Islam sebagai suatu sistem tertutup. Sistem yang tertutup bukan hanya terhadap kebenaran yang dibawa oleh konsep dari luar Islam, tetapi juga tertutup bagi orang-orang non-Muslim. Optimisme muncul dari kalangan masyarakat Muslim India yang diharapkan dapat memecah kebekuan ini . . Mereka diharapkan dapat menemukan nilai-nilai kemanusiaan, yang akan diperjuangkan sebagai ikatan persaudaraan dengan berbagai agama lain . . . Berbagai masalah dalam dunia politik dan institusi sosial selalu berporos pada nilai-nilai Islam, sebagaimana pada masa lalu, senantiasa diukur dengan standar halal dan haram. Baik ketika memiliki kekuasaan politik maupun saat mereka tidak berkuasa, kaum Muslimin tidak pernah berbagi dengan umat lain . . . Senantiasa berporos pada Islam . . merupakan keyakinan mereka dalam membangun masyarakat, yakni suatu kelompok masyarakat eksklusif yang taat kepada hukum. Demikianlah konsep yang pada akhirnya terbukti tidak sesuai dengan masyarakat India.”

Itulah ungkapan salah seorang orientalis terkemuka mengenai hubungan antara kaum Muslim dan Hindu di India. Dan salah seorang yang mendukung dengan sepenuh hati analisis sesat tersebut adalah Maulana Abul Kalam Azad, pelopor persatuan kaum Hindu dan Muslim atas dasar nasionalisme modern dan sekularisme.

Maulana Abul Kalam Azad beruntung mendapat kesempatan dibesarkan dalam lingkungan yang sangat Islami. Ayahnya, Maulana Muhammad Khairuddin adalah seorang ulama terkemuka, yang menulis banyak buku dalam bahasa Arab dan Persia yang menjadi rujukan ribuan mahasiswa dari segala penjuru India. Setelah pecah perlawanan terhadap penjajah Inggris pada tahun 1857, ayah Maulana mengungsi meninggalkan kota asalnya, Delhi, bersama ribuan orang yang lainnya. Melalui bantuan murid kepercayaannya, ayah Maulana mengungsi ke Arab Saudi dan tinggal di Makkah. Di sana ia menikahi putri salah seorang ulama yang paling saleh dan ternama, seorang wanita yang sangat cerdas dan juga sangat alim. Dari pernikahan ini, Abul Kalam lahir pada tahun 1888. Karena ibunya hanya paham bahasa Arab, maka bahasa itu pula yang menjadi bahasa aslinya. Ia mendapatkan pendidikan dasar bukan dari sekolah, tetapi dari kedua orang tuanya serta para ulama Arab Saudi yang menjadi kolega ayahnya.

Dalam rangka memenuhi permintaan seorang muridnya, pada tahun 1898 ayah Maulana kembali ke India dan menetap di Calcutta. Dari sejumlah guru privat, Abul Kalam muda mendapatkan pendidikan bahasa Arab dan Persia, filsafat, ilmu manthiq, aritmatika, geografi, dan sejarah, yang biasanya baru dapat diselesaikan dalam waktu empat belas tahun. Namun, karena begitu cerdasnya Abul Kalam muda, ia dapat menyelesaikan pelajaran tersebut dalam waktu kurang dari empat tahun.

Memahami bahaya yang mengancam serta kejahatan yang dilakukan oleh negara imperialis Inggris, ayah Maulana menjadi penentang paling keras peradaban modern Barat dan segala sesuatu yang berasal darinya. Sistem pendidikan Inggris dan pemikiran Islam modern yang dipropagandakan oleh Sir Sayyid Ahmad Khan merupakan musuh besarnya.

Maulana Abul Kalam Azad memang seorang yang benar-benar luar biasa. Ketika ia baru berusia 12 tahun, ia pernah menyatakan niatnya untuk menulis biografi Imam al-Ghazali. Pada usia 16 tahun, ia sudah dikenal sebagai seorang yang ulama yang faqih. Dalam waktu luangnya ia sering menulis puisi dalam Bahasa Urdu yang sangat indah, dan sejak umur 14 tahun ia sudah dikenal di dunia jurnalistik dengan nama samaran Lisanus Shidq. Pada tahun 1904, ketika ia baru berusia 16 tahun, ia diundang oleh kelompok Anjuman-i-Himayat-i-Islam di Lahore untuk menyampaikan ceramah tahunan. Topik ceramahnya pada waktu itu adalah “Landasan Rasional Agama”. Di antara para pendengar ceramah terdapat orang-orang yang sangat terkenal pada waktu itu, seperti penulis Urdu, Nazir Ahmad dan para penyair, Hali dan ‘Allamah Iqbal. Ceramah Maulana Abul Kalam saat itu sedemikian berkesan, sehingga sejak peristiwa itu ia dikenal di seluruh India. Penyair Hali menyebutnya sebagai “otak orang dewasa di kepala anak-anak”.

Hingga periode akhir masa remajanya ia terus mempertimbangkan apa yang akan ia geluti dalam kehidupannya. Yang menjadi fokus utama pemikirannya adalah masa depan Islam dan bagaimana ia dapat membantu saudara-saudaranya yang seakidah. Maka, pada tahun 1912, ketika ia baru berusia 24 tahun, ia memutuskan untuk terjun ke dunia jurnalistik dengan menerbitkan “al-Hilal”, sebuah majalah mingguan berbahasa Urdu dengan misi menyerukan persatuan pan-Islam dan mengungkapkan agenda-agenda jahat kaum imperialis Inggris ke seluruh dunia Islam.

Penerbitan mingguan ini sebenarnya terinspirasi oleh majalah al-Urwah al-Wutsqa yang diterbitkan oleh Jamaluddin al-Afghani. Di dunia jurnalistik ini, Abul Kalam Azad bisa membuktikan diri sebagai seorang yang memiliki kemampuan sastra sangat tinggi. Di dalam majalah ini, dengan retorika yang sangat persuasif, ia menentang pemikiran-pemikiran gerakan Aligarh yang dipelopori Sir Sayyid Ahmad Khan dan semua produk yang berasal dari pemikiran tersebut. Ia menentang sistem pendidikan modern dan segala bentuk Westernisasi. Bila ada yang bertanya mengenai aliran yang ia anut, aliran garis keras atau aliran politik yang moderat, maka ia akan mencemooh siapa pun yang menyerukan ketaatan kepada konsep selain Islam. Karena, mereka (umat Islam) adalah umat yang dipilih Allah dan memiliki jalan yang membimbing mereka dengan jelas. Secara konsisten ia menyatakan bahwa tidak ada yang ia anut kecuali al-Qur’an yang suci, dan terus menerus mengajak kaum Muslim untuk melakukan hal yang sama. Pernyataan-pernyataannya itu membakar semangat kebangkitan Islam di seluruh India, dan membuat pemikiran-pemikiran Sayyid Ahmad Khan yang cenderung apologetik, serta seluruh upaya menyesuaikan Islam dengan filsafat modern kehilangan daya tariknya. Sebelum al-Hilal dibredel oleh penjajah Inggris dan Abul Kalam dipenjara, tiras majalah itu mencapai jumlah 25 ribu eksemplar.

Pembebasan Abul Kalam dari penjara pada tahun 1920 menandai titik balik dalam kehidupannya. Sejak saat itulah pandangan keagamaan Abul Kalam berubah 180 derajat, sampai-sampai masa depan kaum Muslim seolah tidak lagi menjadi urusannya. Ia tidak lagi menaruh minat pada perjuangan membentuk masyarakat Islam sejati di India, tetapi justru menganjurkan persatuan Hindu – Muslim demi tujuan nasionalisme sekular. Ia menyatakan, “Saya adalah salah seorang yang percaya bahwa kebangkitan boleh jadi merupakan kebutuhan dalam suatu agama; tetapi dalam urusan-urusan sosial, hal itu adalah sebuah pengingkaran terhadap kemajuan!”

“Sampai dengan 1920-1921, Maulana Abul Kalam Azad adalah pejuang kebangkitan Islam dan aktivis harakah Khilafah yang penuh semangat, tetapi setelah itu pemikiran dan tindakannya berbalik 180 derajat. Berubah sedemikian drastis sehingga banyak orang yang merasa perlu mengusap mata untuk meyakinkan penglihatan mereka, apakah ia Azad yang sama atau –karena suatu proses metamorfosis– ada pribadi lain yang muncul dalam tubuh Azad. Abul Kalam Azad yang sekarang adalah seorang nasionalis India tulen dan penganjur persatuan Hindu – Muslim yang sangat bersemangat. Ia memadukan teori kesatuan agama-agama sebagaimana yang diungkapkan sejumlah filosof Hindu dengan teori evolusi biologi yang berasal dari Barat. Gambaran teori tersebut dapat dilihat dengan jelas pada tafsir al-Qur’an yang ia susun.”

Berdasarkan keyakinannya bahwa keselamatan kaum Muslim India sangat tergantung dengan penerimaan mereka terhadap nasionalisme dan sekularisme, Maulana Abul Kalam Azad bergabung dengan Partai Kongres Nasional India dan menjadi sahabat terdekat Mahatma Gandhi.

“Demi tujuan kemerdekaan India dan gerak perjuangan saat ini,” ia menyatakan, “Saya sepenuhnya sepakat dengan semua pemikiran Mahatma Gandhi, dan saya sangat yakin dengan kejujurannya. Inilah keyakinan saya, bahwa India tidak akan mampu meraih keberhasilan melalui perjuangan bersenjata, dan tidak layak kita menggunakan cara ini. India hanya akan dapat meraih kemenangan melalui perjuangan tanpa kekerasan, dan kemerdekaan India akan menjadi kenangan abadi kemenangan gerakan moral.”

Setelah Mahatma Gandhi menghentikan gerakan Khilafah pada tahun 1922 dan gagal mencegah kerusuhan massal yang mengakibatkan hilangnya nyawa ribuan Muslim, mayoritas anggota Partai Kongres yang beragama Islam, seperti Maulana Muhammad Ali (saudara kandung Abul Kalam Azad), Syaukat Ali, dan Qaid al-Azam merasa kecewa, dan satu demi satu keluar dari partai. Meski demikian, Maulana Abul Kalam Azam tetap bertahan, bahkan menjadi ketua partai selama hampir dua puluh tahun dan menjadi pembela partai yang paling setia.

“Tuan Ali Jinnah menuduh bahwa kebijakan Partai Kongres jelas-jelas anti-Muslim; bahwa partai bermaksud menghancurkan peradaban kaum Muslim, terus-menerus mengganggu kehidupan relijius dan sosial umat Islam, dan selalu menginjak-injak hak-hak politik dan ekonomi orang-orang Islam. Sebelum ini saya sudah sering menyatakan dan kembali mengulang pernyataan itu dengan penuh tanggung jawab, bahwa semua tuduhan terhadap Partai Kongres sama sekali tidak beralasan. Adalah dusta yang amat besar bila mengatakan bahwa kebijakan Partai Kongres bersifat anti-Islam, serta menginjak-injak hak-hak keagamaan, politik, dan ekonomi kaum Muslim. Bila Tuan Jinnah dan rekan-rekannya mengatakan demikian atas dasar kemaslahatan kaum Muslim, maka saya ingin mengatakan dengan penuh kesungguhan, bahwa sejatinya mereka tengah melakukan hal yang sebaliknya; mereka baru dapat disebut memberikan kontribusi nyata, apabila mereka mengubah pandangan tersebut secepatnya; kontribusi nyata yang sangat dibutuhkan kaum Muslim India pada saat ini.”

Setelah kemerdekaan India pada tahun 1947, Maulana Abul Kalam Azad diangkat menjadi Menteri Pendidikan hingga meninggalnya pada tahun 1958. Alih-alih menyusun sistem pendidikan bagi kaum Muslim India berdasarkan akidah Islam, ia malah justru memilih berbagai pemikiran Barat seperti penggunaan abjad Latin bagi bahasa Urdu dan bahasa-bahasa bangsa India lainnya.
Tidak ada tokoh Muslim di India yang lebih keras menentang pembentukan negara Pakistan ketimbang Maulana Abul Kalam Azad. Dalam masalah ini, ia mengemukakan alasan sebagai berikut:

“Usulan Liga Muslim tentang pembentukan negara Pakistan merupakan usulan yang fantastis. Mereka yang mengajukan usul ini sama sekali telah mengabaikan mata rantai sejarah, etnologi, dan kecenderungan zaman modern ini. Bila mereka berpendapat bahwa kaum Hindu dan Muslim adalah dua kaum yang berbeda, maka timbul pertanyaan besar. Nenek moyang sebagian besar dari kita adalah sama, dan saya tidak sepakat dengan teori tentang ras yang unggul dan ras yang terbelakang. Umat manusia adalah ras yang satu, dan kita harus hidup secara harmonis satu sama lain. Demikianlah Tuhan menciptakan kita lebih dari seribu tahun lalu. Dulu kita pernah mengalami perang saudara. Kita lihat pula, bagaimana antar sesama orang Inggris berperang dalam Perang Mawar. Namun mereka tidak pernah mempunyai keinginan untuk hidup dalam negara yang terpisah. Selama seribu tahun ini, kita telah saling bekerjasama demi kepentingan ruhani, peradaban, moral, dan material kita bersama. Tuan Jinnah dan para simpatisan Liga Muslim ingin memutar jarum jam ke belakang. Tidak ada gunanya mempertajam perbedaan. Setiap orang yang cinta damai harus memperkokoh persamaan. Yang saya benci adalah pendekatan komunal untuk menyelesaikan permasalahan nasional. Konstitusi yang nantinya disusun oleh para wakil rakyat India, orang-orang Hindu maupun Islam harus memikirkan kedudukan dan kepentingan mereka, bukan sebagai orang Hindu atau Islam, tetapi sebagai seorang petani, buruh, kapitalis, dan sebagainya ….”

Ketika pada akhirnya konsep nasionalisme sekular yang diyakini bertabrakan dengan konsep masyarakat Islam, Abul Kalam Azad menggunakan seluruh kemampuannya sebagai seorang ulama dalam menyajikan dalil-dalil agama untuk menjustifikasi segala tindakannya.

“Mengapa kaum Muslim harus bergandengan tangan dengan umat Hindu dalam perjuangan politik di negeri ini? Al-Qur’an telah membolehkan seorang Muslim untuk menikahi wanita Nasrani atau Yahudi, untuk kemudian keduanya harus saling mencintai dan tidak boleh ada ikatan cinta kasih lain di luar ikatan pernikahan tersebut. Andaikata al-Qur’an sama sekali melarang seorang Muslim menjalin hubungan dengan orang-orang non-Muslim, bagaimana mungkin Allah membolehkan seorang Muslim menjadikan seorang wanita non-Muslim sebagai ratu di rumah tangganya dan menyerahkan seluruh urusan duniawi kepadanya? Di sinilah letak kunci persatuan Hindu dan Muslim.”

Sungguh mengherankan ungkapan bernada apologetik seperti ini keluar dari lisan seorang yang alim. Izin yang diberikan bagi seorang Muslim untuk menikahi wanita yang tidak seakidah dengannya hanya dibatasi pada wanita Nasrani dan Yahudi, atau wanita-wanita Ahlul Kitab. Al-Qur’an melarang seorang Muslim menikahi wanita musyrik, termasuk yang beragama Hindu. Seorang Muslim boleh menikahi wanita yang tidak seakidah, dengan syarat bila laki-laki Muslim itu mampu menjadi kepala keluarga dan anak-anaknya akan dididik sebagai Muslim. Selain itu, berulang kali al-Qur’an menekankan agar kaum Muslim menaruh kepercayaan hanya kepada orang-orang mukmin, dan mengingatkan bahwa siapa saja yang menjadikan orang kafir sebagai pelindung orang-orang mukmin maka ia telah berdosa besar. Di samping itu, tidak ada perbedaan akidah yang lebih besar dari pada perbedaan kepercayaan syirik Hindu dengan Islam, dan Maulana Abul Kalam Azad mengabaikan fakta bahwa tidak mungkin ada persatuan sejati antar manusia yang tidak memiliki kesamaan akidah.

Demikian bersemangatnya Abul Kalam Azad dalam memperjuangkan nasionalisme sekuler, sampai-sampai ia pernah mengingatkan kaum Muslim di India bahwa orang-orang Hindu merasa tersinggung bila kaum Muslim menyembelih sapi untuk keperluan makan sehari-hari maupun untuk keperluan ibadah kurban pada hari raya Idul Adha. Oleh karena itu, demi persatuan umat Hindu dan Muslim, Abul Kalam Azad meminta kaum Muslim untuk menyadari bahwa menyembelih sapi –meski untuk keperluan kurban– bukanlah suatu hal yang prinsip dalam agama Islam. Begitu pula ia berusaha meyakinkan rekan-rekannya yang beragama Hindu, bahwa banyak di kalangan umat Islam yang tidak lagi makan daging sapi serta berusaha mengajak rekan-rekan mereka untuk mengurangi konsumsi daging sapi “hanya sekedar untuk menunjukkan ikatan persaudaraannya dengan orang-orang Hindu”. Ia berharap dalam waktu yang tidak lama lagi orang-orang Hindu maupun Islam mulai melonggarkan berbagai pantangan yang acapkali membuat keduanya saling bersitegang.

Karya Maulana Abul Kalam Azad yang paling terkenal, yang menjadi sumber rujukan untuk menjustifikasi berbagai aktivitasnya, adalah kitab tafsir al-Qur’an berbahasa Urdu yang belum sempat diselesaikannya. Pesan utama yang ia sampaikan dalam kitab tersebut adalah bahwa semua agama itu sama benar, dan hanya para penganutnya yang terhanyut dalam kesesatan. Ia berpendapat bahwa semua agama di dunia ini pada hakikatnya berasal dari sumber yang sama.

“Mereka berbeda satu dengan yang lain bukan pada akarnya, tetapi hanya pada cabang dan daun-daunnya; bukan pada jiwanya, tetapi hanya pada kulit luar atau tubuhnya saja. Ritual keagamaan dan peribadatan yang ada memang beraneka ragam, dan akan semakin bervariasi mengikuti perkembangan waktu dan tempat; tetapi Tuhan dengan kebijaksanaannya sengaja menciptakan keanekaragaman ini. Sejatinya, agama hanya ada satu; namun bentuk luar peribadatan dan ritualnya berbeda-beda, sehingga setiap orang berpendapat agamanya lebih unggul dari agama orang lain. Mereka tidak pernah melihat dengan cara berpikir seperti ini dari sudut penganut agama lain. Jadi kalau di mata anda cara peribadatan anda adalah yang terbaik, demikian pula pendapat orang lain atas cara peribadatan mereka. Oleh karena itu, toleransi merupakan satu-satunya penyelesaian.”

Konsep bahwa semua agama itu benar adalah pemikiran Hindu yang tidak mendapat tempat dalam al-Qur’an. Bahkan al-Qur’an menyatakan dengan jelas dan muhkamat bahwa, barangsiapa menganut pandangan hidup selain Islam, maka tidak akan mendapat keselamatan (akhirat) dari Allah.

“Sebenarnya, kaum Muslim India menghadapi masalah yang sama sekali baru dan sangat besar; yaitu bagaimana caranya hidup bersama dengan umat lain secara sederajat . . . Masalahnya adalah bahwa doktrin-doktrin Islam dari masa lalu tidak memberikan panduan yang jelas tentang hal ini. Dan keadaan ini semakin kompleks karena kasta-kasta Hindu yang hidup bersama mereka juga belum siap untuk hidup bermasyarakat dengan umat lain. . . . Kami yakin bahwa kesejahteraan masyarakat Muslim di India, secara jasmani maupun ruhani, terletak pada keikutsertaan mereka secara kreatif dalam segala urusan negara baru ini . . . Berdasarkan pengamatan kami, inilah yang terjadi selama lima tahun terakhir ini, sekalipun memang terdapat berbagai kesulitan yang menghalangi. Di antara berbagai faktor yang menyebabkan hal ini, sekularisme adalah faktor yang paling utama. Keberhasilan sekularisme ini, sekalipun bersifat parsial, namun merupakan faktor yang paling mendasar. Tidak perlu pemikiran yang mendalam . . untuk dapat menyadari bahwa kelangsungan hidup dan kesejahteraan kaum Muslim sangat tergantung pada sekularitas negara. Keterlibatan nilai-nilai agama dalam masalah negara tidak akan dapat menghasilkan keberhasilan. Nampaknya, tinggal sebagian kecil kaum Muslim (sekalipun di India) yang tetap setia dengan konsep negara Islam . . Apapun pendapat teologi tradisional, sekularisme terbukti sukses . . .

Pada tahun-tahun berikutnya, semenjak pernyataan di atas diungkapkan, berbagai kejadian di India membuktikan kekeliruan pemikiran “bijak” tersebut. Sekularisme tidak berhasil melindungi kaum Muslim. Bahkan sebaliknya, negara sekular tersebut menguasai kaum Muslim, khususnya di Kashmir, dimana kaum Muslim dikejar-kejar dan dibantai. Demikianlah, jalan yang diambil Maulana Abul Kalam Azad, telah membuat masyarakat Muslim di India hancur dan tercerai berai. Gara-gara tidak mampu memperhitungkan akibat yang timbul dari tindakannya menjalin kerjasama dan menyerahkan kepercayaan kepada mayoritas umat Hindu –dengan maksud untuk membebaskan diri dari penjajahan Inggris– Maulana Abul Kalam Azad telah membuat kaum Muslim terperosok dari satu penjajahan ke penjajahan berikutnya.

Setelah meninggalnya, Maulana Abul Kalam Azad mewariskan sekelompok Muslim pengkhianat. Antara lain adalah Chagla, seorang mantan Menteri Luar Negeri pada masa yang sama ketika seorang Menteri Pendidikan menyerukan kepada Pemerintah India untuk menghapuskan hukum-hukum Islam, melarang poligami dan purdah, serta menghapuskan sanksi atas pernikahan seorang muslimah dengan seorang lelaki non-Muslim yang diharamkan. Untuk menyukseskan program keluarga berencana, secara terbuka ia pernah menyerukan legalisasi aborsi dan mewajibkan vasektomi kepada para suami yang telah memiliki lebih dari tiga orang anak. Selain itu, ketika sedang hangat-hangatnya Perang India – Pakistan (6 – 24 September 1965), ia mengungkapkan dengan penuh kebanggaan di Radio All-India bahwa nenek moyangnya adalah kaum Hindu.

Kemudian ia menuding bahwa sebagian besar kaum Muslim di Pakistan berasal dari ras Hindu dan seharusnya merasa bangga dengan asal-usul mereka itu. Ketika Dr. Zakir Hussain menduduki tampuk kepresidenan, ia melakukan beberapa hal yang berlebihan sekedar untuk menyenangkan hati tokoh-tokoh Hindu. Setelah menunjukkan rasa hormatnya kepada seorang pendeta Hindu yang terkemuka dengan cara mengalungkan rangkaian bunga dan mencium kakinya, ia menyampaikan pidato pelantikan dalam Bahasa Sansekerta. Kini, salah seorang cucu perempuannya berniat melangsungkan pernikahan dengan salah satu anak mantan Perdana Menteri India Indira Gandhi. Ia mendukung sepenuhnya rencana ini. Ia juga dilaporkan sesekali memuja dewa Hindu, Wishnu. Selain itu, ada pula M.O.H. Faruq –Menteri Utama Negara Bagian Pondicherry– yang pernah menyatakan dalam sebuah majalah mingguan berbahasa Tamil, Kalkandu, pada tanggal 24 Agustus 1967 bahwa “sebuah kekuatan yang luar biasa” telah mendorongnya untuk memuja dewa Hindu, Muruga. Ia mengaku tertarik dengan dewa tersebut dan akan mengajak anaknya untuk memuja dewa tersebut. Majalah India lainnya menyatakan bahwa “suatu perubahan penting telah terjadi di kalangan Muslim yang berwawasan luas dan progresif, dan Menteri Utama Negara Bagian Pondicherry merupakan contoh utama.” Lainnya adalah Sadiq –Perdana Menteri Negara Bagian Kashmir– yang secara terbuka menjalin kerjasama dengan Partai Jana Singh yang fasis, untuk membantai kaum Muslim di Kashmir. Inilah fenomena sekularisme di India!

Referensi:

Abul Kalam Azad: A Memorial Volume, Humayun Kabir, Asia Publishing House, Bombay, 1959
Modern Muslim India and the Birth of Pakistan, Dr. S.M. Ikram, Syaikh Muhammad Ashraf, Lahore, 1959, hal. 142 – 157

India Wins Freedom, Abul Kalam Azad, Orient Longmans, Calcutta, 1959

The Tarjuman ul-Qur’an, Abul Kalam Azad, terjemahan Inggris oleh Syed Abdul Latif, Asia Publishing House, Bombay, 1962. (Penulis mencoba membuktikan kesesuaian al-Qur’an dengan teori evolusi modern dari Barat, dan juga menunjukkan kesahihan semua agama sebagaimana ajaran para filsuf Hindu. Ini merupakan karya klasik ulama modernis yang paling penting. Karya seperti ini harus dibaca secara hati-hati, karena –sengaja atau tidak– bisa membahayakan pemikiran Islam dan kaum Muslim)
READMORE
 

Syaikh Abdul Aziz Al Badri: Ulama yang Kritis, Syahid di Tangan Penguasa Irak

Syaikh Abdul Azis Al Badri dikenal di Indonesia melalui sejumlah karyanya seperti Al Islam Baynal Ulama wal Hukam (Diterbitkan Penerbit Darul Falah dengan Judul "Hitam Putih Wajah Ulama-Penguasa"), Al Islam: Dhaminun Lil Haajat Al Asasiyah Likulli Fardin wa Ya'malu lirafaahiyatihi(diterbitkan Penerbit GIP dengan judul "Hidup Sejahtera Dalam Naungan Islam"), dan sejumlah buku ideologis lainnya. 

Ulama yang senantiasa berdakwah dengan tulisan, lisan, dan perbuatan ini bernama Syaikh Abdul Aziz Al Badri. Beliau lahir di kota Samira’, Irak, pada 1929. Syaikh Abdul Azis terlahir dari lingkungan Islami yang berjuang untuk dakwah Islam. Masa kecilnya diisi dengan tarbiyah Islamiyah yang intensif. Beliau pernah berguru pada sejumlah ulama besar di Baghdad, seperti Syekh Amjad Az-Zahawi, Syekh Muhammad Fuad Al-Alusi dan Syekh Abdul Qadir Al-Khatib.

Abdul Aziz dikenal sebagai seorang ulama yang kritis terhadap para penguasa. Sikap kritis atas perilaku para penguasa telah menjadi ciri khas ulama satu ini. Seakan hendak mengikuti jejak Hamzah –paman Nabi saw yang dijuluki Sayyidus Syuhada', sebagai penghulu para syuhada-, Syekh Abdul Aziz Al-Badri adalah ulama pemberani yang berdiri di hadapan penguasa, mengatakan yang haq, menasehati para pemimpin negeri agar taat terhadap hukum-hukum Allah SWT. 

Jalan dakwah adalah pilihan yang telah dimantapkan oleh Syaikh Abdul Aziz Al Badri. Jalan dakwah tersebut dijalaninya dengan penuh semangat, keberanian dan teladan yang baik, sebagaimana para salafus saleh terdahulu. Kesibukan sehari-harinya selalu diwarnai dengan dakwah, memberikan nasihat, pengarahan dan khotbah, di masjid-masjid di Baghdad, dan lain-lain. Kepiawaiannya dalam berdakwah tak diragukan lagi. Ia adalah seorang orator ulung, berani dalam menyatakan yang haq, penuh semangat ketika mendakwahkan Islam dan selalu siap beradu argumentasi terhadap ide-ide destruktif di luar Islam. Abdul Aziz selalu siap menantang mereka di mana dan kapan saja, mematahkan argumentasi, menyingkap kebobrokan dan kepalsuan ide-ide serta strategi-strategi mereka, hingga mereka berpaling darinya.

Dalam buku Hukmul Islam fil Isytirakiyah (Sosialisme Dalam Pandangan Islam), Abdul Aziz menentang habis-habisan pendapat yang menyatakan adanya Sosialisme dalam Islam. Dalam kata pengantar buku tersebut yang ditulis oleh Syekh Amjad Az-Zahawi, ditulis, “Ketika tersebar pendapat ada bentuk sosialisme tertentu dalam Islam, Syekh Abdul Aziz Al-Badri segera meng-counter perkataan tersebut, dengan menjelaskan tidak ada Sosialisme dalam Islam. Sosialisme justru bertentangan dengan hukum-hukum Islam yang mulia dan kaedah-kaedah Islam menolaknya. Dalam meng-counter  ide-ide menyimpang tersebut, Abdul Aziz Al Badri selalu menggunakan bahasa yang gamblang dan didukung oleh dalil-dalil qath’i sehingga tidak ada ruang untuk ragu-ragu, karena sesuai dengan nash-nash syariat yang qath’i.

Pemikiran Syaikh Abdul Aziz Al Badri banyak dipengaruhi oleh pemikiran pendiri Hizbut Tahrir, Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, terutama mengenai ide-ide kebangkitan umat, perbandingan ideologi dan fiqh daulah. Untuk menyerbarkan ide-idenya itulah ia menulis buku, antara lain: Al-Islam bainal Ulama wal Hukam, Hukmul Islam fil Isytirakiyah, Al-Islam alal Isytirakiyah war Ra’sumaliyah, Al-Islam Dhaminul Hajat Al-Asasiyah li Kulli Fard danKitabullah Al-Khalid Al-Qur`anul Karim. 

Dalam bukunya Al-Islam bainal Ulama’ wal Hukkam, Syekh Abdul Aziz Al Badri menjelaskan perjalanan hidup ulama salaf, ulama aktivis, dan fuqaha mujahidin, yang menghadapi kedzaliman dan orang-orang dzalim, dalam memperjuangkan izzul Islam wal muslimin. Buku tersebut mengisahkan teladan-teladan dakwah yang rela berjuang dan berani menghadapi penguasa dzalim demi terucapnya kalimat haq. Disebutlah Said bin Al Musayyib, Said bin Jubir, Ja’far Ash-Shadiq, Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Ibnu Hanbal, Imam Syafi’i, Imam Al-Bukhari, Imam Izz bin Abdus Salam, dan Imam Ibnu Taimiyah.

Selain itu, buku tersebut juga menceritakan tentang jihadnya para ulama, seperti Abdullah bin Al-Mubarak, Ibnu Taimiyah, Asad bin Furat, dan lain-lain. Ia juga membahas sikap ulama khalaf, seperti Ahmad As-Sirhindi, Ahmad bin Irfan Al-Hindi, Izzuddin Al-Qassam, Abdul Qadir Al-Jazairi, Muhammad Al-Mahdi, Ahmad As-Sanusi, Umar Al-Mukhtar, ulama aktivis, dan pejuang yang tulus lainnya.

Ustadz Abdullah Al-Husaini dalam kata pengantar buku Syaikh Abdul Aziz Al-Badri berjudul Al-Islam Bainal Ulama wal Hukam pada cetakan kedua yang diterbitkan oleh Darul Qalam Kuwait tahun 1986 menulis, “Pada perang 1967, Yahudi menyerbu Al-Quds, Tepi Barat, Dataran Tinggi Golan, dan Sinai, selama enam hari atau bahkan enam jam. Syekh Al-Badri kelihatan marah sekali. Beliau mengirim telegram kepada pemimpin negara-negara Islam, membebankan pada mereka tanggung jawab terhadap Al-Quds, dan menuduh orang-orang yang menyetujui gencatan senjata sebagai penghianat. Ia juga membentuk delegasi nasional Islam yang berkeliling ke dunia Islam, untuk mendorong kekuatan dan massa Islam bangkit memikul tanggung jawab terhadap krisis ini dan menegaskan Islam bukan sebab kekalahan, karena di perang sama sekali tidak ada nama Islam. Delegasi ini mengunjungi India, Pakistan, Indonesia, Malaysia, Iran, dan Afghanistan.

Setelah delegasi tersebut kembali ke Baghdad, Syaikh Abdul Aziz Al-Badri menyelenggarakan konferensi pers untuk menjelaskan apa yang ia saksikan di dunia Islam, yaitu potensi yang tidak tergarap, padahal seharusnya dapat didayagunakan untuk membantu kasus Palestina. Ia tidak setuju krisis ini dikatakan krisis lokal dunia Arab saja, bukan krisis umum dunia Islam yang luas. Ia khawatir penyempitan area krisis ini terus berlanjut, sebab itu berarti kelak krisis Palestina menjadi persoalan internal bangsa Palestina saja.”

Keberanian Al-Badri dalam menyampaikan kebenaran tidak pilih-pilih. Dalam setiap kesempatan, baik itu khutbah ataupun ceramah-ceramah ke-Islaman, Syaikh Abdul Aziz Al-Badri selalu menyampaikan kalimat haq walaupun dihadapan penguasa. Abdul Karim Qasim, penguasa Baghdad pada saat itu, memerintah dengan ‘tangan besi’. Dia menobatkan dirinya sebagai “Penguasa Tunggal”. Tindakan ini langsung dikomentari oleh Al-Badri dengan menjuluki Abdul Karim Qasim sebagai ‘Orang kaku, kasar, dan terkenal kejahatannya’.”

Koreksi Syaikh Abdul Aziz Al-Badri terhadap pemerintah mencapai puncaknya ketika Abdul Karim Qasim menetapkan hukuman mati kepada sebagian komandan pasukan yang ikhlas, seperti Nazhim Ath-Thabqajali, Rafa’at Haji Siri, dan lain-lain. Syaikh Abdul Aziz Al-Badri pun menggerakkan massa dan memimpin demonstrasi besar yang jumlahnya diperkirakan mencapai empat puluh ribu demonstran. Semuanya menuntut lengsernya Abdul Karim Qasim. Syekh Abdul Aziz Al-Badri juga mengeluarkan fatwa memvonis kafir orang-orang komunis yang menjadi pembela dan pendukung Abdul Karim Qasim. Abdul Aziz Al-Badri menuntut memerangi dan menggagalkan rekayasa jahat mereka.

Atas tindakan tersebut, Abdul Karim Qasim akhirnya menetapkan status tahanan rumah kepada Syaikh Abdul Aziz Al Badri selama setahun penuh dari 2 Desember 1959 sampai 7 Agustus 1960. Namun, perjuangan Al Badri tidak terhenti hanya karena tahanan rumah tersebut. Ketika hukuman ini dicabut, Abdul Aziz Al Badri tidak menghentikan khotbah-khotbahnya, memobilisasi massa untuk melawan Abdul Karim Qasim dan antek-anteknya. Atas tindakannya tersebut, kembali ia dijatuhi hukuman untuk kedua kalinya, dengan menetapkan status tahanan rumah.

Syahid di Tangan Penguasa


Syaikh Abdul Aziz Al Badri syahid di tangan penguasa jahat, Saddam Husein. Mengenai kekejaman Saddam ini, Dr. Abbas Bakhtiar menulis : Di antara ratusan eksekusi dan pembunuhan, Saddam juga bertanggungjawab terhadap pembunuhan tokoh-tokoh agama dari Sunni seperti Syaikh Abdul Aziz Al Badri, Syaikh Nadhum Al Asi, Syaikh Al Shahrazori, Syaikh Umar Shaqlawa, Syaikh Rami Al Kirkukly, Syaikh Mohamad Shafeeq Al Badri dan Abdul Ghani Shindaladll ”. 

Syeikh Abdul Aziz dan Hizbut Tahrir

Sebagai seorang ulama-aktivis, Syaikh Abdul Azis pernah berinteraksi dengan salah satu harakah Islam, Hizbut Tahrir. Keterangan ini bisa diperoleh dari tesis Muhammad Muhsin Rodhi, alumni Universitas Islam Baghdad. Rodhi menulis tentang keterlibatan Syaikh Abdul Azis dengan Hizbut Tahrir dalam tesisnya yang berjudul Hizb at-Tahrir: Tsaqofatuhu wa Manhajuhu fi Iqomah Daulah al-Khilafah al-Islamiyyah. 

Menurut Rodhi, antara tahun 1952 dan 1953 sekelompok orang Hizbut Tahrir datang ke Irak. Mereka di antara para maha siswa Arab yang memperoleh beasiswa dari pemerintahan Irak untk belajar di Dar al-Mu’allimin al-Aliyah, hukum, kedokteran dan lainnya. Mereka menghubungi orang-orang Irak, dan mengenalkan pada mereka pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir. 

Di antara orang-orang Irak yang berhasil dihubungi adalah kelompok al-Haj Husin Ahmad ash-Shalih, yang sebelumnya telah memiliki hubungan dengan Jama’ah Ikhwanul Muslimin Irak. Setelah kelompok ini tertarik dengan pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir, maka mereka pun berinteraksi dengan para juru dakwah Hizbut Tahrir. 

Pada masa yang singkat itu, Hizbut Tahrir telah berhasil membentuk kelompok yang berkualitas, terdiri dari sejumlah tokoh, yang berhasil direkrut menjadi anggota Hizbut Tahrir, di antaranya adalah: Husin Ahmad ash-Shalih, yang selanjutnya memimpin kemas’ulan Hizb hingga tahun 1957 M., Syaikh Abdul Aziz al-Badri, Abdul Ghani al-Mallah, Khalid Amin al-Khadhor, Abdullah Ahmad ad-Dabuni, Yusuf al-Ma’mar, Ibrahim Makki, Abdul Jabbar Abdul Wahab Bakar, Shalih Abdul Wahab Bakar, Usamah Nashir an-Naqsyabandi, Fadhil as-Suwaidi, Ghashub Yunus al-Jaburi, dan Qaduri as-Suwaidi. 

Pada akhir tahun 1954 M, Syaikh Abdul Azis Al Badri bersama sekelompok anggota Hizbut Tahrir mengajukan surat permohonan izin melakukan aktivitas politik kepada Departemen Dalam Negeri pada masa Kerajaan. 

Akan tetapi, Departemen Dalam Negeri Irak menolak permohonan itu, dengan alasan bertentangan dengan UUD dan sistem kerajaan. Hizbut Tahrir mengajukan kasasi atas penolakan permohonannya ini, namun kasasinya juga ditolak. Akhirnya, Hizbut Tahrir mengeluarkan manifesto yang isinya menjelaskan tentang sikapnya terhadap penolakan ini, dan menyerang dengan tegas perjanjian Irak – Inggris tentang minyak tanah tahun 1955 M., menyerang sekutu di Baghdad, dan menggambarkan keberadaan raja, Nuri as-Sa’id sebagai antek Inggris. 

Sayangnya, pada tahun 1958 M terjadi kesalahpahaman antara Syaikh Abdul Aziz al-Badri dengan pimpinan umum Hizbut Tahrir, Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dan tidak lama setelah itu, yaikh Abdul Aziz al-Badri keluar dari Hizbut Tahrir.  

Menurut hasil wawancara Rodhi dengan sejumlah tokoh HT, kesalahpahaman antara Syaikh Abdul Aziz al-Badri dengan pimpinan umum Hizbut Tahrir adalah bahwa beliau rahimahullah pernah mengirim telegram ucapan selamat kepada para perwira yang telah melakukan revolusi 14 Juli 1958 M serta memuji mereka. Kemudian, setelah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengetahui, maka beliau mengikarinya, dan menyalahkannya karena tergesa-gesa memuji mereka tanpa terlebih dahulu mengetahui kenyataan mereka sebenarnya, dan tanpa koordinasi dengan pimpinan. Tidak lama setelah itu beliau keluar dari Hizbut Tahrir. 

"Meski beliau keluar dari Hizbut Tahrir, namun hubungan beliau dengan Hizbut Tahrir tetap baik.", tulis Rodhi.   

Shodiq Ramadhan, dari berbagai sumber
READMORE
 

Ali Abd ar-Raziq: Ulama Pertama yang Menentang Khilafah


Syaikh Ali Abd ar-Raziq adalah ulama Muslim pertama yang memberikan pernyataan tertulis mengenai penolakannya terhadap khilafah, dan mendorong kaum Muslimin untuk mengadopsi sekularisme dan nasionalisme sebagai pedoman hidup mereka. 

Memang, pada waktu bukunya yang berjudul al-Islam wa Ushul al-Hukm (Islam dan Prinsip-prinsip Pemerintahan) diterbitkan di Kairo pada tahun 1925, Ziya Gokalp dan Musthafa Kemal Attaturk dari Turki serta Luthfi as-Sayyid dan Sa’ad Zaghlul di Mesir telah berhasil menyelesaikan pekerjaan besar mereka, yaitu melenyapkan seluruh jejak pengaruh Islam dalam sistem pemerintahan di negeri-negeri mereka. Namun, satu hal yang pasti, bahwa para pemimpin sekular tersebut tidak memiliki kaitan dengan Islam dan dengan segala konsep yang muncul dari Islam.

Sementara itu, sosok Syaikh Ali Abd ar-Raziq merupakan suatu keunikan; mengingat bahwa ia adalah seorang yang alim, tetapi justru melontarkan wacana bahwa kaum Muslim sudah semestinya mengadopsi sistem politik Eropa; dan bahkan menyatakan bahwa “Islam yang sejati” sama sekali tidak berkaitan dengan negara!

Lahir pada tahun 1888, Syaikh Ali Abd ar-Raziq –sebagaimana saudaranya– menjadi murid Syaikh Muhammad Abduh dan mendapatkan pendidikan di Universitas al-Azhar, setelah beberapa waktu lamanya belajar di Universitas Oxford, Inggris. Berbeda dengan saudaranya, Musthafa, yang pernah tinggal di Paris dan menjadi Rektor Universitas al-Azhar dari tahun 1945 sampai dengan tahun 1947, ia memainkan peranan aktif dalam berbagai urusan umum untuk memodernisasi universitas. Namun setelah kontroversi sengit akibat penulisan bukunya itu mereda, Syaikh Ali Abd ar-Raziq menghabiskan sisa hidupnya dalam kondisi yang tidak jelas.

Pada tahun 1925, kejayaan politik kaum Muslim terpuruk hingga ke lubang yang paling dalam. Sekalipun ada negeri-negeri Muslim yang tidak dijajah secara langsung oleh negara-negara Eropa, namun secara tidak langsung kendali politik dan ekonominya tetap saja berada dalam genggaman penjajah. Setelah kekalahan telak yang dialami Turki pada Perang Dunia I, Musthafa Kemal Attaturk meruntuhkan kekuasaan Bani Utsmaniyah dan melenyapkan sistem Khilafah. Maka kemudian diadakan sebuah kongres mengenai Khilafah di Kairo pada bulan Mei 1926 oleh sekelompok ulama Mesir yang diketuai oleh Rektor Universitas al-Azhar. Sekalipun secara aklamasi para ulama tersebut sepakat bahwa Khilafah adalah bagian integral dan tak bisa dipisahkan dari Islam, namun karena keadaan pada waktu itu tidak memungkinkan mereka membentuk kekuasaan, maka tidak ada yang dapat dilakukan kecuali menunggu terbentuknya institusi tersebut pada saat yang tepat, yaitu ketika ada seorang Khalifah yang dipilih oleh sejumlah perwakilan kaum Muslimin.

Al-Islam wa Ushul al-Hukm merupakan produk dari suasana muram akibat sikap pesimistik dan perasaan rendah diri para cendekiawan Muslim waktu itu, yang merupakan dampak imperialisme asing. Namun demikian, bagaimana mungkin ada seorang ulama yang mempertanyakan perlunya seorang Khalifah atau bahkan lebih jauh lagi mempertanyakan eksistensi Khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam? Meskipun banyak dalil qath’i yang menolak pendapatnya, Ali Abd ar-Raziq tetap saja mengingkari bahwa al-Qur’an dan al-Hadits secara eksplisit menjelaskan tentang perlu tegaknya Khilafah! Dengan penuh semangat, ia menolak pendapat bahwa Rasulullah saw pernah menegakkan kekuasaan politik, dengan mengatakan bahwa tugas beliau semata-mata bersifat spiritual. Ia menulis:

“Dari sisi politik, Rasul telah mendapatkan peran sebagaimana yang dimiliki oleh seorang penguasa, tetapi beliau memiliki peran khusus yang tidak dimiliki oleh orang lain. Termasuk dalam bagian tugas beliau adalah berkaitan dengan jiwa yang berdiam di dalam raga dan menyingkap tabir untuk membuka hati yang ada di dalam dada. Beliau mempunyai tugas untuk membuka hati para pengikutnya, sampai beliau dapat mencapai pusat cinta dan benci, tempat tumbuhnya kebaikan dan keburukan, muara gerak hati, tempat persembunyian berbagai godaan, pangkal niat, dan gudang akhlak . . . . Risalah kenabian menuntut Rasul agar dapat menjalin hubungan sejati dengan jiwa manusia, dengan hubungan pemeliharaan (ri’ayah) dan perlindungan (tadbiir). Dan pengelolaan hakiki atas hati-hati mereka dengan pengelolaan tiada batas.” 

“Sebagai seorang Rasul, Muhammad memiliki … kepemimpinan spiritual yang bersumber dari hati yang tulus dan berserah diri secara total; tidak seperti kepemimpinan politik yang bersandar pada ketundukan jasmani secara paksa. Tujuannya bukanlah untuk mengatur kepentingan hidup di dunia, tetapi untuk mendekatkan manusia kepada Tuhan … Dengan demikian bentuk-bentuk pemerintahan tidak berhubungan dengan kehendak Tuhan; Tuhan telah menyerahkan urusan pemerintahan kepada akal pikiran manusia. Lebih dari itu, tidak perlu lagi menyatukan ummat dalam satu wadah politik. Hal itu merupakan suatu yang sungguh mustahil; dan kalaupun bisa disatukan apakah akan membuahkan kebaikan? Tuhan telah menghendaki adanya perbedaan yang alamiah antar berbagai suku dan golongan, agar terjadi perlombaan untuk menyempurnakan peradaban. Islam tidak mengakui keunggulan suatu bangsa, bahasa, negeri, atau suatu generasi, kecuali atas ketaqwaannya. Kebetulan saja, masyarakat primitif pada waktu itu adalah bangsa Arab . . . Bukti bahwa Rasul tidak mendapat tugas membentuk sebuah Negara Islam adalah bahwa beliau tidak memberikan petunjuk-petunjuk kepada kaum Muslim untuk melestarikan daulah sepeninggal beliau . . . Ketika Khalifah pertama, Abu Bakar, diangkat, maka jelas terlihat bahwa pengangkatan itu merupakan proses politik. Dalam proses itu terlekat semua komponen daulah, yang ditegakkan atas dasar kekuatan dan pedang. Daulah tersebut adalah sebuah daulah Arab yang dibangun atas dasar keagamaan. Memang dalam praktiknya daulah tersebut memiliki pengaruh besar dalam perkembangan dan penyebaran Islam, akan tetapi pada hakikatnya dimaksudkan untuk kepentingan-kepentingan bangsa Arab sendiri . . . Kelompok-kelompok yang menolak kepemimpinan Abu Bakar dituduh sebagai orang-orang yang murtad. Sejak saat itulah anggapan yang keliru tentang Khilafah berakar, yang kemudian dimanfaatkan oleh penguasa-penguasa otoriter untuk mengamankan kekuasaannya . . . Kepemimpinan Khalifah merupakan hal yang membahayakan Islam. Khalifah merupakan ‘bencana bagi kaum Muslim, serta sumber kebobrokan dan kebejatan’ . . . Islam sesungguhnya terlepas dari konsep Khilafah sebagaimana dikenal oleh kaum Muslim pada umumnya. Agama tidak ada hubungannya dengan suatu bentuk pemerintahan tertentu, dan tidak ada aturan dalam Islam yang melarang kaum Muslim untuk merobohkan sistem lapuk yang merendahkan martabat, untuk kemudian membangun kaidah-kaidah kekuasaan dan sistem pemerintahan yang sesuai dengan semangat manusia dan pengalaman mutakhir yang telah teruji ketangguhannya . . .” 

Dalam analisisnya seputar perjalanan Khilafah, Ali Abd ar-Raziq tidak hanya membuat kesalahan dengan menyatakan ungkapan-ungkapan kasar yang berlebihan. Tetapi juga, deskripsi yang ia berikan sama sekali bertolak belakang dengan seluruh fakta sejarah. Padahal, al-Qur’an telah menyatakan: 

Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?
 (QS. al-Maidah [5]: 50)

Atau firman Allah dalam surat al-Baqarah yang menyatakan bahwa Rasulullah saw dan para pengikutnya adalah wakil (khalifah) Allah di muka bumi.

Demikian pula al-Qur’an berulangkali menyatakan bahwa kaum Muslim merupakan satu kesatuan, serta memberikan ancaman siksa di dunia dan di akhirat bagi siapa saja yang membuat mereka bertikai dan berpecah belah.

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai. (QS. Ali Imran [3]: 103)

Sesungguhnya umatmu adalah ummat yang satu. Dan aku adalah Tuhanmu maka sembahlah aku. (QS. al-Anbiya [21]: 92)

Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang teguh kepada agama Allah dan perjanjian dengan manusia. Dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan.
 (QS. Ali Imran [3]: 112)

Sebagai ulama dari al-Azhar, apakah ia mengabaikan janji Allah kepada kaum Muslim yang taat.

Dan barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya, dan takut kepada Allah dan bertaqwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.
 (QS. An-Nur [24]: 52)
Demikian pula firman Allah:Maka apakah mereka tidak melihat bahwasannya Kami mendatangi negeri orang-orang kafir, lalu Kami kurangi luasnya dari segala penjurunya. Maka, apakah mereka yang menang. (QS. al-Anbiya [21]: 44)

Atau apakah syaikh yang faqih itu melupakan hadits yang meriwayatkan sabda Rasulullah saw:

Kelak akan terlepas ikatan Islam, ikatan demi ikatan. Setiap kali terlepas satu ikatan maka orang-orang akan berpegangan kepada (hukum) yang lain. Yang pertama kali terlepas adalah hukum (pemerintahan), dan yang terakhir adalah shalat.
 (HR. Ahmad dan al-Hakim)

Mengenai kepemimpinan Abu Bakar, apakah ulama faqih itu mengabaikan sejarah Islam, sampai-sampai ia tidak mengetahui bahwa Abu Bakar telah berpidato sesaat sesudah diangkat sebagai Khalifah:

“Wahai manusia, sekarang aku adalah pemimpin kalian, sekalipun aku bukan yang terbaik di antara kalian. Bila aku berbuat benar, dukunglah aku; bila aku berbuat salah, maka tunjukkanlah aku jalan yang benar. Taatilah aku sejauh aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya; bila aku tidak mentaati keduanya, maka kalian tidak boleh taat kepadaku. Ketahuilah, bahwa aku adalah manusia biasa sebagaimana kalian semua.”

Apakah ungkapan di atas adalah kata-kata seorang politisi yang ambisius, yang mementingkan urusan bangsa Arab semata; atau seorang penguasa yang bertumpu pada lambang-lambang kebesaran kerajaan dan tangan besi kediktatoran seperti yang digambarkan oleh syaikh modernis tersebut? Bila benar tugas Rasulullah saw murni bersifat spiritual saja dan tidak berjuang menegakkan Islam melalui kekuasaan institusi politik, maka dapat dipastikan bahwa beliau tidak akan pernah berhijrah. Sebaliknya, beliau tentu lebih memilih tetap tinggal di Makkah, mendakwahkan risalahnya di tengah berbagai rintangan yang mustahil dapat dilawan, hingga pada akhirnya beliau dihabisi musuh-musuh Islam dan wafat sebagai syuhada. Inilah pendapat para orientalis Kristen di Eropa dan Amerika mengenai apa yang seharusnya Rasulullah lakukan!

Selama berabad-abad, kaum Nasrani menyebarluaskan propaganda bahwa kekuasaan politik tidak dapat dipadukan dengan nilai-nilai relijius. Itulah sebabnya seluruh cendekiawan Kristen –nyaris tanpa perkecualian– menyatakan dalam berbagai buku, bahwa sifat-sifat mulia Rasulullah telah mengalami kerusakan menyusul berbagai keberhasilan politis dan militer yang diperoleh selepas Hijrah. Dengan demikian, pendapat Syaikh Ali Abd ar-Raziq sangat terpengaruh dengan pemikiran dan konsep kaum Nasrani yang ingin mengangkat “kemurnian” ajaran Rasulullah, sampai-sampai ia merasa harus mendebat dalil-dalil sharih (gamblang) untuk menunjukkan bahwa Rasulullah tidak pernah menghendaki kekuasaan politik. Padahal, ayat-ayat al-Qur’an, hadits, dan ijma’ sahabat tidak sedikit pun menyisakan keraguan dalam benak tiap Muslim atau non-Muslim, bahwa sejak semula Islam ditujukan untuk menjadi suatu ajaran menyeluruh (kaffah) yang diaplikasikan oleh satu kesatuan umat di bawah satu kepemimpinan. Berbagai peraturan Islam, seperti zakat, jihad, bahkan shalat berjama’ah dan hukum-hukum formal lainnya –yang tidak dapat diterapkan tanpa kekuasaan politik– merupakan bukti yang tak terbantahkan atas fakta tersebut.

Syaikh Ali Abd ar-Raziq dan pendukungnya di Barat mengharapkan Islam menjadi sekedar ajaran teologis, filsafat teoritis, atau mimpi-mimpi indah yang tidak berguna. Mereka tidak dapat menerima fakta bahwa Islam pernah benar-benar diimplementasikan. Sekarang mereka bahkan tidak dapat membiarkan segolongan kaum Muslim yang tetap terinspirasi dengan sejarah masa lalu kaum mereka. Mereka juga bertekad bulat mengopinikan pemikiran mereka agar dapat menguasai kaum Muslim di masa mendatang. Sementara itu, pernyataan dalam al-Islam wal Ushul al-Hukm tentang Abu Bakar, sahabat Rasulullah yang paling dekat, merupakan pendapat yang sama sekali keliru. Satu-satunya fakta yang riil adalah bahwa ulama modernis itu telah berupaya mengubah (agama) Islam menjadi (sebagaimana) Kristen!

Red: shodiq ramadhan
Sumber: Maryam Jameelah, Islam and Modernism
READMORE
 

Test midle sidebar

Labels

Health

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. PONPES AlBayyan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger