Syaikh Abdul Aziz Al Badri: Ulama yang Kritis, Syahid di Tangan Penguasa Irak

Syaikh Abdul Azis Al Badri dikenal di Indonesia melalui sejumlah karyanya seperti Al Islam Baynal Ulama wal Hukam (Diterbitkan Penerbit Darul Falah dengan Judul "Hitam Putih Wajah Ulama-Penguasa"), Al Islam: Dhaminun Lil Haajat Al Asasiyah Likulli Fardin wa Ya'malu lirafaahiyatihi(diterbitkan Penerbit GIP dengan judul "Hidup Sejahtera Dalam Naungan Islam"), dan sejumlah buku ideologis lainnya. 

Ulama yang senantiasa berdakwah dengan tulisan, lisan, dan perbuatan ini bernama Syaikh Abdul Aziz Al Badri. Beliau lahir di kota Samira’, Irak, pada 1929. Syaikh Abdul Azis terlahir dari lingkungan Islami yang berjuang untuk dakwah Islam. Masa kecilnya diisi dengan tarbiyah Islamiyah yang intensif. Beliau pernah berguru pada sejumlah ulama besar di Baghdad, seperti Syekh Amjad Az-Zahawi, Syekh Muhammad Fuad Al-Alusi dan Syekh Abdul Qadir Al-Khatib.

Abdul Aziz dikenal sebagai seorang ulama yang kritis terhadap para penguasa. Sikap kritis atas perilaku para penguasa telah menjadi ciri khas ulama satu ini. Seakan hendak mengikuti jejak Hamzah –paman Nabi saw yang dijuluki Sayyidus Syuhada', sebagai penghulu para syuhada-, Syekh Abdul Aziz Al-Badri adalah ulama pemberani yang berdiri di hadapan penguasa, mengatakan yang haq, menasehati para pemimpin negeri agar taat terhadap hukum-hukum Allah SWT. 

Jalan dakwah adalah pilihan yang telah dimantapkan oleh Syaikh Abdul Aziz Al Badri. Jalan dakwah tersebut dijalaninya dengan penuh semangat, keberanian dan teladan yang baik, sebagaimana para salafus saleh terdahulu. Kesibukan sehari-harinya selalu diwarnai dengan dakwah, memberikan nasihat, pengarahan dan khotbah, di masjid-masjid di Baghdad, dan lain-lain. Kepiawaiannya dalam berdakwah tak diragukan lagi. Ia adalah seorang orator ulung, berani dalam menyatakan yang haq, penuh semangat ketika mendakwahkan Islam dan selalu siap beradu argumentasi terhadap ide-ide destruktif di luar Islam. Abdul Aziz selalu siap menantang mereka di mana dan kapan saja, mematahkan argumentasi, menyingkap kebobrokan dan kepalsuan ide-ide serta strategi-strategi mereka, hingga mereka berpaling darinya.

Dalam buku Hukmul Islam fil Isytirakiyah (Sosialisme Dalam Pandangan Islam), Abdul Aziz menentang habis-habisan pendapat yang menyatakan adanya Sosialisme dalam Islam. Dalam kata pengantar buku tersebut yang ditulis oleh Syekh Amjad Az-Zahawi, ditulis, “Ketika tersebar pendapat ada bentuk sosialisme tertentu dalam Islam, Syekh Abdul Aziz Al-Badri segera meng-counter perkataan tersebut, dengan menjelaskan tidak ada Sosialisme dalam Islam. Sosialisme justru bertentangan dengan hukum-hukum Islam yang mulia dan kaedah-kaedah Islam menolaknya. Dalam meng-counter  ide-ide menyimpang tersebut, Abdul Aziz Al Badri selalu menggunakan bahasa yang gamblang dan didukung oleh dalil-dalil qath’i sehingga tidak ada ruang untuk ragu-ragu, karena sesuai dengan nash-nash syariat yang qath’i.

Pemikiran Syaikh Abdul Aziz Al Badri banyak dipengaruhi oleh pemikiran pendiri Hizbut Tahrir, Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, terutama mengenai ide-ide kebangkitan umat, perbandingan ideologi dan fiqh daulah. Untuk menyerbarkan ide-idenya itulah ia menulis buku, antara lain: Al-Islam bainal Ulama wal Hukam, Hukmul Islam fil Isytirakiyah, Al-Islam alal Isytirakiyah war Ra’sumaliyah, Al-Islam Dhaminul Hajat Al-Asasiyah li Kulli Fard danKitabullah Al-Khalid Al-Qur`anul Karim. 

Dalam bukunya Al-Islam bainal Ulama’ wal Hukkam, Syekh Abdul Aziz Al Badri menjelaskan perjalanan hidup ulama salaf, ulama aktivis, dan fuqaha mujahidin, yang menghadapi kedzaliman dan orang-orang dzalim, dalam memperjuangkan izzul Islam wal muslimin. Buku tersebut mengisahkan teladan-teladan dakwah yang rela berjuang dan berani menghadapi penguasa dzalim demi terucapnya kalimat haq. Disebutlah Said bin Al Musayyib, Said bin Jubir, Ja’far Ash-Shadiq, Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Ibnu Hanbal, Imam Syafi’i, Imam Al-Bukhari, Imam Izz bin Abdus Salam, dan Imam Ibnu Taimiyah.

Selain itu, buku tersebut juga menceritakan tentang jihadnya para ulama, seperti Abdullah bin Al-Mubarak, Ibnu Taimiyah, Asad bin Furat, dan lain-lain. Ia juga membahas sikap ulama khalaf, seperti Ahmad As-Sirhindi, Ahmad bin Irfan Al-Hindi, Izzuddin Al-Qassam, Abdul Qadir Al-Jazairi, Muhammad Al-Mahdi, Ahmad As-Sanusi, Umar Al-Mukhtar, ulama aktivis, dan pejuang yang tulus lainnya.

Ustadz Abdullah Al-Husaini dalam kata pengantar buku Syaikh Abdul Aziz Al-Badri berjudul Al-Islam Bainal Ulama wal Hukam pada cetakan kedua yang diterbitkan oleh Darul Qalam Kuwait tahun 1986 menulis, “Pada perang 1967, Yahudi menyerbu Al-Quds, Tepi Barat, Dataran Tinggi Golan, dan Sinai, selama enam hari atau bahkan enam jam. Syekh Al-Badri kelihatan marah sekali. Beliau mengirim telegram kepada pemimpin negara-negara Islam, membebankan pada mereka tanggung jawab terhadap Al-Quds, dan menuduh orang-orang yang menyetujui gencatan senjata sebagai penghianat. Ia juga membentuk delegasi nasional Islam yang berkeliling ke dunia Islam, untuk mendorong kekuatan dan massa Islam bangkit memikul tanggung jawab terhadap krisis ini dan menegaskan Islam bukan sebab kekalahan, karena di perang sama sekali tidak ada nama Islam. Delegasi ini mengunjungi India, Pakistan, Indonesia, Malaysia, Iran, dan Afghanistan.

Setelah delegasi tersebut kembali ke Baghdad, Syaikh Abdul Aziz Al-Badri menyelenggarakan konferensi pers untuk menjelaskan apa yang ia saksikan di dunia Islam, yaitu potensi yang tidak tergarap, padahal seharusnya dapat didayagunakan untuk membantu kasus Palestina. Ia tidak setuju krisis ini dikatakan krisis lokal dunia Arab saja, bukan krisis umum dunia Islam yang luas. Ia khawatir penyempitan area krisis ini terus berlanjut, sebab itu berarti kelak krisis Palestina menjadi persoalan internal bangsa Palestina saja.”

Keberanian Al-Badri dalam menyampaikan kebenaran tidak pilih-pilih. Dalam setiap kesempatan, baik itu khutbah ataupun ceramah-ceramah ke-Islaman, Syaikh Abdul Aziz Al-Badri selalu menyampaikan kalimat haq walaupun dihadapan penguasa. Abdul Karim Qasim, penguasa Baghdad pada saat itu, memerintah dengan ‘tangan besi’. Dia menobatkan dirinya sebagai “Penguasa Tunggal”. Tindakan ini langsung dikomentari oleh Al-Badri dengan menjuluki Abdul Karim Qasim sebagai ‘Orang kaku, kasar, dan terkenal kejahatannya’.”

Koreksi Syaikh Abdul Aziz Al-Badri terhadap pemerintah mencapai puncaknya ketika Abdul Karim Qasim menetapkan hukuman mati kepada sebagian komandan pasukan yang ikhlas, seperti Nazhim Ath-Thabqajali, Rafa’at Haji Siri, dan lain-lain. Syaikh Abdul Aziz Al-Badri pun menggerakkan massa dan memimpin demonstrasi besar yang jumlahnya diperkirakan mencapai empat puluh ribu demonstran. Semuanya menuntut lengsernya Abdul Karim Qasim. Syekh Abdul Aziz Al-Badri juga mengeluarkan fatwa memvonis kafir orang-orang komunis yang menjadi pembela dan pendukung Abdul Karim Qasim. Abdul Aziz Al-Badri menuntut memerangi dan menggagalkan rekayasa jahat mereka.

Atas tindakan tersebut, Abdul Karim Qasim akhirnya menetapkan status tahanan rumah kepada Syaikh Abdul Aziz Al Badri selama setahun penuh dari 2 Desember 1959 sampai 7 Agustus 1960. Namun, perjuangan Al Badri tidak terhenti hanya karena tahanan rumah tersebut. Ketika hukuman ini dicabut, Abdul Aziz Al Badri tidak menghentikan khotbah-khotbahnya, memobilisasi massa untuk melawan Abdul Karim Qasim dan antek-anteknya. Atas tindakannya tersebut, kembali ia dijatuhi hukuman untuk kedua kalinya, dengan menetapkan status tahanan rumah.

Syahid di Tangan Penguasa


Syaikh Abdul Aziz Al Badri syahid di tangan penguasa jahat, Saddam Husein. Mengenai kekejaman Saddam ini, Dr. Abbas Bakhtiar menulis : Di antara ratusan eksekusi dan pembunuhan, Saddam juga bertanggungjawab terhadap pembunuhan tokoh-tokoh agama dari Sunni seperti Syaikh Abdul Aziz Al Badri, Syaikh Nadhum Al Asi, Syaikh Al Shahrazori, Syaikh Umar Shaqlawa, Syaikh Rami Al Kirkukly, Syaikh Mohamad Shafeeq Al Badri dan Abdul Ghani Shindaladll ”. 

Syeikh Abdul Aziz dan Hizbut Tahrir

Sebagai seorang ulama-aktivis, Syaikh Abdul Azis pernah berinteraksi dengan salah satu harakah Islam, Hizbut Tahrir. Keterangan ini bisa diperoleh dari tesis Muhammad Muhsin Rodhi, alumni Universitas Islam Baghdad. Rodhi menulis tentang keterlibatan Syaikh Abdul Azis dengan Hizbut Tahrir dalam tesisnya yang berjudul Hizb at-Tahrir: Tsaqofatuhu wa Manhajuhu fi Iqomah Daulah al-Khilafah al-Islamiyyah. 

Menurut Rodhi, antara tahun 1952 dan 1953 sekelompok orang Hizbut Tahrir datang ke Irak. Mereka di antara para maha siswa Arab yang memperoleh beasiswa dari pemerintahan Irak untk belajar di Dar al-Mu’allimin al-Aliyah, hukum, kedokteran dan lainnya. Mereka menghubungi orang-orang Irak, dan mengenalkan pada mereka pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir. 

Di antara orang-orang Irak yang berhasil dihubungi adalah kelompok al-Haj Husin Ahmad ash-Shalih, yang sebelumnya telah memiliki hubungan dengan Jama’ah Ikhwanul Muslimin Irak. Setelah kelompok ini tertarik dengan pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir, maka mereka pun berinteraksi dengan para juru dakwah Hizbut Tahrir. 

Pada masa yang singkat itu, Hizbut Tahrir telah berhasil membentuk kelompok yang berkualitas, terdiri dari sejumlah tokoh, yang berhasil direkrut menjadi anggota Hizbut Tahrir, di antaranya adalah: Husin Ahmad ash-Shalih, yang selanjutnya memimpin kemas’ulan Hizb hingga tahun 1957 M., Syaikh Abdul Aziz al-Badri, Abdul Ghani al-Mallah, Khalid Amin al-Khadhor, Abdullah Ahmad ad-Dabuni, Yusuf al-Ma’mar, Ibrahim Makki, Abdul Jabbar Abdul Wahab Bakar, Shalih Abdul Wahab Bakar, Usamah Nashir an-Naqsyabandi, Fadhil as-Suwaidi, Ghashub Yunus al-Jaburi, dan Qaduri as-Suwaidi. 

Pada akhir tahun 1954 M, Syaikh Abdul Azis Al Badri bersama sekelompok anggota Hizbut Tahrir mengajukan surat permohonan izin melakukan aktivitas politik kepada Departemen Dalam Negeri pada masa Kerajaan. 

Akan tetapi, Departemen Dalam Negeri Irak menolak permohonan itu, dengan alasan bertentangan dengan UUD dan sistem kerajaan. Hizbut Tahrir mengajukan kasasi atas penolakan permohonannya ini, namun kasasinya juga ditolak. Akhirnya, Hizbut Tahrir mengeluarkan manifesto yang isinya menjelaskan tentang sikapnya terhadap penolakan ini, dan menyerang dengan tegas perjanjian Irak – Inggris tentang minyak tanah tahun 1955 M., menyerang sekutu di Baghdad, dan menggambarkan keberadaan raja, Nuri as-Sa’id sebagai antek Inggris. 

Sayangnya, pada tahun 1958 M terjadi kesalahpahaman antara Syaikh Abdul Aziz al-Badri dengan pimpinan umum Hizbut Tahrir, Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dan tidak lama setelah itu, yaikh Abdul Aziz al-Badri keluar dari Hizbut Tahrir.  

Menurut hasil wawancara Rodhi dengan sejumlah tokoh HT, kesalahpahaman antara Syaikh Abdul Aziz al-Badri dengan pimpinan umum Hizbut Tahrir adalah bahwa beliau rahimahullah pernah mengirim telegram ucapan selamat kepada para perwira yang telah melakukan revolusi 14 Juli 1958 M serta memuji mereka. Kemudian, setelah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengetahui, maka beliau mengikarinya, dan menyalahkannya karena tergesa-gesa memuji mereka tanpa terlebih dahulu mengetahui kenyataan mereka sebenarnya, dan tanpa koordinasi dengan pimpinan. Tidak lama setelah itu beliau keluar dari Hizbut Tahrir. 

"Meski beliau keluar dari Hizbut Tahrir, namun hubungan beliau dengan Hizbut Tahrir tetap baik.", tulis Rodhi.   

Shodiq Ramadhan, dari berbagai sumber

Penulis : Unknown ~ Sebuah blog yang menyediakan berbagai macam informasi

Artikel Syaikh Abdul Aziz Al Badri: Ulama yang Kritis, Syahid di Tangan Penguasa Irak ini dipublish oleh Unknown pada hari Selasa, 13 November 2012. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar.sudah ada 0 komentar: di postingan Syaikh Abdul Aziz Al Badri: Ulama yang Kritis, Syahid di Tangan Penguasa Irak
 

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. PONPES AlBayyan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger