Lafadz Jihâd diambil oleh syara’ dalam al-Kitâb dan as-Sunnah yang berasal dari pengertian etimologis secara umum kemudian dibatasi untuk menunjukkan makna tertentu, yaitu: mengerahkan seluruh kemampuan untuk berperang di jalan Allah, baik secara langsung, dengan bantuan keuangan, pandangan (pemikiran), memperbanyak kuantitas (sawâd) ataupun yang lain.
Pengertian jihad yang khas ini berlaku di Madinah, sementara di Makkah, pensyariatan jihad belum diturunkan. Karena itu, materi jihad di dalam ayat-ayat Makkiyyah menunjukkan pengertian dalam konteks literal (etimologis) secara umum, yaitu tiga ayat dalam surat al-Ankabût:
Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri (TQS. al-Ankabût [29]: 6)
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. (TQS. al-Ankabût [29]: 8)
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami (TQS. al-Ankabût [29]: 69)
Dalam surat Luqmân-Makkiyah terdapat satu ayat, yaitu:
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya (TQS. Luqmân [31]: 15)
Sedangkan ayat jihad dalam surat an-Nahl-Makkiyah, telah menyebutkan hijrah, yang menunjukkan, bahwa ayat tersebut Madaniyah, yang terdapat dalam surat Makkiyah. Inilah yang dikemukakan oleh para mufassir. Ayat tersebut adalah:
Dan sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar; sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (TQS. an-Nahl [16]: 110)
Adapun materi jihad dalam ayat-ayat Madaniyah mencakup 26 kata, yang umumnya secara jelas menunjukkan makna perang. Di antaranya terdapat dalam surat an-Nisâ’:
Tidaklah sama antara mu'min yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar. (TQS. an-Nisâ’ [4]: 95)
Di dalam ayat ini, nyata sekali bahwa jihad tersebut mempunyai pengertian: keluar untuk berperang, dan hal itu diutamakan ketimbang berdiam diri dan tidak berangkat (berperang). Di antaranya juga terdapat dalam surat at-Taubah ayat-ayat berikut:
Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (TQS. at-Taubah [9]: 41)
Perintah jihad setelah perintah an-nafar ---yang nota bene adalah berangkat (berperang)--- berarti, bahwa jihad tersebut adalah berperang, dan perjalanan menuju ke medan perang.
Dan apabila diturunkan sesuatu surat (yang memerintahkan kepada orang munafik itu): "Berimanlah kamu kepada Allah dan berjihadlah beserta Rasul-Nya", niscaya orang-orang yang sanggup di antara mereka meminta izin kepadamu (untuk tidak berjihad) dan mereka berkata: "Biarkanlah kami berada bersama orang-orang yang duduk". (TQS. at-Taubah [9]: 86)
Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak pergi berperang, dan hati mereka telah dikunci mati, maka mereka tidak mengetahui (kebahagiaan beriman dan berjihad). Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, mereka berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kebaikan; dan mereka itulah (pula) orang-orang yang beruntung. (TQS. at-Taubah [9]: 87-88)
Di antaranya terdapat dalam surat as-Shaff, setelah menyebut peperangan di awal surat:
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. (TQS. as-Shaff [61]: 4)
Setelah itu, dua ayat: 10 dan 11 dinyatakan; keduanya memberikan motivasi berperang atas nama jihad:
Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya. (TQS. as-Shaff [61]: 10-11)
Ini adalah hal-hal yang berhubungan dengan materi jihad dalam ayat-ayat Madaniyah. Kita bisa melihat kandungannya secara jelas, bahwa ayat-ayat tersebut secara spesifik menunjukkan makna perang, serta apa yang diperlukan dalam peperangan, dengan karakteristik keadaannya, seperti pengucuran dana yang memang diperlukan untuk mendapatkan perlengkapan perang, perjalanan menuju ke medan perang, mengajukan syarat legalitas peperangan, yaitu menyampaikan dakwah kepada kaum Kufar, sebab hal ini (yaitu, menyampaikan dakwah) merupakan ketentuan dasar peperangan, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Mughnî al-Muhtâj.
Lafadz jihad juga telah dinyatakan dalam hadits Nabi dengan pengertian syar’i, yaitu perang, dan apa saja yang berhubungan dengan perang.
Di antaranya, dari Abû Hurairah berkata: Mereka (para sahabat) berkata: Wahai Rasulullah, sampaikanlah kepada kami aktivitas yang sebanding dengan jihad di jalan Allah. Rasulullah saw. bersabda: Kalian tentu tidak mampu melakukannya. Mereka berkata lagi: Sampaikanlah kepada kami, semoga kami mampu melakukannya. Beliau bersabda: Orang yang berjihad di jalan Allah setara dengan orang yang berpuasa, bangun (di malam hari untuk shalat malam), taat dan patuh pada ayat-ayat Allah, tidak menjadi lemah karena puasa dan sedekah hingga orang yang berjihad itu kembali kepada keluarganya.
Pengertian hadits tersebut sangat jelas, yaitu pertanyaan tentang orang yang berjihad ---dengan pengertian khusus untuk orang yang berperang di jalan Allah--- dengan jawaban yang menunjukkan makna yang sama, melalui sabda beliau: hingga orang yang berjihad itu kembali kepada keluarganya. Artinya, kembali dari medan perang.
Pengertian jihad yang khas ini berlaku di Madinah, sementara di Makkah, pensyariatan jihad belum diturunkan. Karena itu, materi jihad di dalam ayat-ayat Makkiyyah menunjukkan pengertian dalam konteks literal (etimologis) secara umum, yaitu tiga ayat dalam surat al-Ankabût:
Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri (TQS. al-Ankabût [29]: 6)
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. (TQS. al-Ankabût [29]: 8)
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami (TQS. al-Ankabût [29]: 69)
Dalam surat Luqmân-Makkiyah terdapat satu ayat, yaitu:
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya (TQS. Luqmân [31]: 15)
Sedangkan ayat jihad dalam surat an-Nahl-Makkiyah, telah menyebutkan hijrah, yang menunjukkan, bahwa ayat tersebut Madaniyah, yang terdapat dalam surat Makkiyah. Inilah yang dikemukakan oleh para mufassir. Ayat tersebut adalah:
Dan sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar; sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (TQS. an-Nahl [16]: 110)
Adapun materi jihad dalam ayat-ayat Madaniyah mencakup 26 kata, yang umumnya secara jelas menunjukkan makna perang. Di antaranya terdapat dalam surat an-Nisâ’:
Tidaklah sama antara mu'min yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar. (TQS. an-Nisâ’ [4]: 95)
Di dalam ayat ini, nyata sekali bahwa jihad tersebut mempunyai pengertian: keluar untuk berperang, dan hal itu diutamakan ketimbang berdiam diri dan tidak berangkat (berperang). Di antaranya juga terdapat dalam surat at-Taubah ayat-ayat berikut:
Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (TQS. at-Taubah [9]: 41)
Perintah jihad setelah perintah an-nafar ---yang nota bene adalah berangkat (berperang)--- berarti, bahwa jihad tersebut adalah berperang, dan perjalanan menuju ke medan perang.
Dan apabila diturunkan sesuatu surat (yang memerintahkan kepada orang munafik itu): "Berimanlah kamu kepada Allah dan berjihadlah beserta Rasul-Nya", niscaya orang-orang yang sanggup di antara mereka meminta izin kepadamu (untuk tidak berjihad) dan mereka berkata: "Biarkanlah kami berada bersama orang-orang yang duduk". (TQS. at-Taubah [9]: 86)
Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak pergi berperang, dan hati mereka telah dikunci mati, maka mereka tidak mengetahui (kebahagiaan beriman dan berjihad). Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, mereka berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kebaikan; dan mereka itulah (pula) orang-orang yang beruntung. (TQS. at-Taubah [9]: 87-88)
Di antaranya terdapat dalam surat as-Shaff, setelah menyebut peperangan di awal surat:
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. (TQS. as-Shaff [61]: 4)
Setelah itu, dua ayat: 10 dan 11 dinyatakan; keduanya memberikan motivasi berperang atas nama jihad:
Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya. (TQS. as-Shaff [61]: 10-11)
Ini adalah hal-hal yang berhubungan dengan materi jihad dalam ayat-ayat Madaniyah. Kita bisa melihat kandungannya secara jelas, bahwa ayat-ayat tersebut secara spesifik menunjukkan makna perang, serta apa yang diperlukan dalam peperangan, dengan karakteristik keadaannya, seperti pengucuran dana yang memang diperlukan untuk mendapatkan perlengkapan perang, perjalanan menuju ke medan perang, mengajukan syarat legalitas peperangan, yaitu menyampaikan dakwah kepada kaum Kufar, sebab hal ini (yaitu, menyampaikan dakwah) merupakan ketentuan dasar peperangan, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Mughnî al-Muhtâj.
Lafadz jihad juga telah dinyatakan dalam hadits Nabi dengan pengertian syar’i, yaitu perang, dan apa saja yang berhubungan dengan perang.
Di antaranya, dari Abû Hurairah berkata: Mereka (para sahabat) berkata: Wahai Rasulullah, sampaikanlah kepada kami aktivitas yang sebanding dengan jihad di jalan Allah. Rasulullah saw. bersabda: Kalian tentu tidak mampu melakukannya. Mereka berkata lagi: Sampaikanlah kepada kami, semoga kami mampu melakukannya. Beliau bersabda: Orang yang berjihad di jalan Allah setara dengan orang yang berpuasa, bangun (di malam hari untuk shalat malam), taat dan patuh pada ayat-ayat Allah, tidak menjadi lemah karena puasa dan sedekah hingga orang yang berjihad itu kembali kepada keluarganya.
Pengertian hadits tersebut sangat jelas, yaitu pertanyaan tentang orang yang berjihad ---dengan pengertian khusus untuk orang yang berperang di jalan Allah--- dengan jawaban yang menunjukkan makna yang sama, melalui sabda beliau: hingga orang yang berjihad itu kembali kepada keluarganya. Artinya, kembali dari medan perang.
Dari Jabir, mereka (para sahabat) bertanya: Wahai Rasulullah, jihad apakah yang lebih baik? Beliau menjawab:Siapa saja yang kudanya terluka, dan darahnya ditumpahkan.
Dari Ibn ‘Abbâs berkata, Rasulullah saw bersabda: Ketika saudara-saudara kalian tertimpa musibah dalam Perang Uhud, Allah telah menjadikan ruh-ruh mereka berada di dalam perut burung berwarna hijau, mendatangi sungainya (surga), dan memakan buah-buahannya; ia pun leluasa di dalam surga sesukanya. Tatkala mereka (para sahabat) melihat indahnya tempat tinggal mereka, makan dan minum mereka, mereka pun berkata: Andaikan kaum kita mengetahui apa yang telah diberikan Allah kepada kita agar mereka suka berjihad, dan tidak meninggalkannya. Allah Swt berfirman: Sesungguhnya Aku menceritakan saudara kalian, menyampaikan keadaan saudara-saudara kalian. Mereka pun senang dan bergembira dengannya. Itulah firman Allah:
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” Hingga firman-Nya: “Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah, dan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman.”
Perhatikanlah, bagaimana dorongan berperang serta konsekuensi mati syahid untuk memenuhi harapan para pendahulu syuhada’ dalam memotivasi kaumnya agar berjihad. Perkara tersebut menunjukkan, bahwa jihad itu ---jika digunakan dalam pengertian syariat--- pasti memiliki pengertian berperang di jalan Allah, dan apa saja yang berhubungan dengan perang.
Sementara di dalam kitab-kitab Hadits terdapat puluhan hadits yang mengandung materi “jihad” dengan konotasi “perang”, disamping kata lain yang terkait dengan makna jihad, seperti al-Harb, al-Ghazw dan al-Qitâl, dan lain-lain. Demikianlah, dari nas-nas syara’ tersebut dan banyak lagi nash yang sejenis, tampak jelas bahwa syariat telah mengalihkan lafadz: Jihâd dari pengertian literal yang bersifat umum menjadi pengertian yang bersifat khas, yaitu berperang di jalan Allah, dan apa saja yang berhubungan dengan perang, sebagaimana yang telah dikemukakan di atas. Dari sinilah, sumber-sumber syariat telah mengemukakan definisi jihad dengan: berperang di jalan Allah. Ini merupakan sebagian kutipan dari kitab-kitab fiqih yang menegaskan realitas tersebut. Karena kitab fiqih ---pada dasarnya--- hanya mengungkapkan makna jihad secara syar’i, serta hukum-hukum yang berkaitan dengan jihad:
Menurut mazhab Hanafi, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Badâ’i’ as-Shanâ’i’: Jihad menurut bahasa, adalah ungkapan tentang pengerahan seluruh kemampuan… sementara menurut pengertian syariat, digunakan dalam konteks pengerahan seluruh kemampuan dan tenaga dalam berperang di jalan Allah, baik dengan jiwa, harta, lisan ataupun yang lain.
Menurut mazhab Mâliki, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Munah al-Jalîl: Jihad adalah perang seorang Muslim melawan orang Kafir yang tidak mempunyai perjanjian, dalam rangka menjunjung tinggi kalimat Allah Swt. atau kehadirannya di sana (yaitu berperang), atau dia memasuki wilayahnya (yaitu, tanah kaum Kafir) untuknya (yaitu, berperang). Demikian dikatakan oleh Ibn ‘Arafah.
Menurut mazhab as-Syâfi’i, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab al-Iqnâ’ jihad: yaitu berperang di jalan Allah. As-Sayrâzi juga menegaskan dalam kitab al-Muhadzdzab: Sesungguhnya jihad itu adalah perang.
Sementara menurut mazhab Hanbali, dalam al-Mughnî, karya Ibn Qudâmah, tidak pernah dalam kitâb al-Jihâd dengan makna lain selain yang berhubungan dengan peperangan, dan berperang melawan kaum Kafir, baik fardlu kifayah maupun fardlu ain, ataupun dalam bentuk sikap berjaga-jaga kaum Mukmin terhadap musuh, menjaga perbatasan dan celah-celah wilayah Islam. Terhadap hal itu, beliau berkata: Ribâth (menjaga perbatasan) merupakan pangkal dan cabang jihad. Juga kata-kata beliau: Jika musuh datang, maka jihad menjadi fardlu ‘ain bagi mereka… jika hal ini memang benar-benar telah ditetapkan, maka mereka tidak boleh meninggalkan (wilayah mereka) kecuali atas seizin pemimpin (mereka). Sebab, urusan peperangan telah diserahkan kepadanya.
Dari Ibn ‘Abbâs berkata, Rasulullah saw bersabda: Ketika saudara-saudara kalian tertimpa musibah dalam Perang Uhud, Allah telah menjadikan ruh-ruh mereka berada di dalam perut burung berwarna hijau, mendatangi sungainya (surga), dan memakan buah-buahannya; ia pun leluasa di dalam surga sesukanya. Tatkala mereka (para sahabat) melihat indahnya tempat tinggal mereka, makan dan minum mereka, mereka pun berkata: Andaikan kaum kita mengetahui apa yang telah diberikan Allah kepada kita agar mereka suka berjihad, dan tidak meninggalkannya. Allah Swt berfirman: Sesungguhnya Aku menceritakan saudara kalian, menyampaikan keadaan saudara-saudara kalian. Mereka pun senang dan bergembira dengannya. Itulah firman Allah:
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” Hingga firman-Nya: “Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah, dan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman.”
Perhatikanlah, bagaimana dorongan berperang serta konsekuensi mati syahid untuk memenuhi harapan para pendahulu syuhada’ dalam memotivasi kaumnya agar berjihad. Perkara tersebut menunjukkan, bahwa jihad itu ---jika digunakan dalam pengertian syariat--- pasti memiliki pengertian berperang di jalan Allah, dan apa saja yang berhubungan dengan perang.
Sementara di dalam kitab-kitab Hadits terdapat puluhan hadits yang mengandung materi “jihad” dengan konotasi “perang”, disamping kata lain yang terkait dengan makna jihad, seperti al-Harb, al-Ghazw dan al-Qitâl, dan lain-lain. Demikianlah, dari nas-nas syara’ tersebut dan banyak lagi nash yang sejenis, tampak jelas bahwa syariat telah mengalihkan lafadz: Jihâd dari pengertian literal yang bersifat umum menjadi pengertian yang bersifat khas, yaitu berperang di jalan Allah, dan apa saja yang berhubungan dengan perang, sebagaimana yang telah dikemukakan di atas. Dari sinilah, sumber-sumber syariat telah mengemukakan definisi jihad dengan: berperang di jalan Allah. Ini merupakan sebagian kutipan dari kitab-kitab fiqih yang menegaskan realitas tersebut. Karena kitab fiqih ---pada dasarnya--- hanya mengungkapkan makna jihad secara syar’i, serta hukum-hukum yang berkaitan dengan jihad:
Menurut mazhab Hanafi, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Badâ’i’ as-Shanâ’i’: Jihad menurut bahasa, adalah ungkapan tentang pengerahan seluruh kemampuan… sementara menurut pengertian syariat, digunakan dalam konteks pengerahan seluruh kemampuan dan tenaga dalam berperang di jalan Allah, baik dengan jiwa, harta, lisan ataupun yang lain.
Menurut mazhab Mâliki, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Munah al-Jalîl: Jihad adalah perang seorang Muslim melawan orang Kafir yang tidak mempunyai perjanjian, dalam rangka menjunjung tinggi kalimat Allah Swt. atau kehadirannya di sana (yaitu berperang), atau dia memasuki wilayahnya (yaitu, tanah kaum Kafir) untuknya (yaitu, berperang). Demikian dikatakan oleh Ibn ‘Arafah.
Menurut mazhab as-Syâfi’i, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab al-Iqnâ’ jihad: yaitu berperang di jalan Allah. As-Sayrâzi juga menegaskan dalam kitab al-Muhadzdzab: Sesungguhnya jihad itu adalah perang.
Sementara menurut mazhab Hanbali, dalam al-Mughnî, karya Ibn Qudâmah, tidak pernah dalam kitâb al-Jihâd dengan makna lain selain yang berhubungan dengan peperangan, dan berperang melawan kaum Kafir, baik fardlu kifayah maupun fardlu ain, ataupun dalam bentuk sikap berjaga-jaga kaum Mukmin terhadap musuh, menjaga perbatasan dan celah-celah wilayah Islam. Terhadap hal itu, beliau berkata: Ribâth (menjaga perbatasan) merupakan pangkal dan cabang jihad. Juga kata-kata beliau: Jika musuh datang, maka jihad menjadi fardlu ‘ain bagi mereka… jika hal ini memang benar-benar telah ditetapkan, maka mereka tidak boleh meninggalkan (wilayah mereka) kecuali atas seizin pemimpin (mereka). Sebab, urusan peperangan telah diserahkan kepadanya.
Sumber: Kitab Al Jihad wal Qital fi Siyasyah Syar’iyah karya Dr M Khoir Haikal
0 komentar:
Posting Komentar