Maryam Jameelah
Penulis buku "Islam and Modernism"
“Kesalahan paling mendasar kaum Muslim adalah menafsirkan Islam sebagai suatu sistem tertutup. Sistem yang tertutup bukan hanya terhadap kebenaran yang dibawa oleh konsep dari luar Islam, tetapi juga tertutup bagi orang-orang non-Muslim. Optimisme muncul dari kalangan masyarakat Muslim India yang diharapkan dapat memecah kebekuan ini . . Mereka diharapkan dapat menemukan nilai-nilai kemanusiaan, yang akan diperjuangkan sebagai ikatan persaudaraan dengan berbagai agama lain . . . Berbagai masalah dalam dunia politik dan institusi sosial selalu berporos pada nilai-nilai Islam, sebagaimana pada masa lalu, senantiasa diukur dengan standar halal dan haram. Baik ketika memiliki kekuasaan politik maupun saat mereka tidak berkuasa, kaum Muslimin tidak pernah berbagi dengan umat lain . . . Senantiasa berporos pada Islam . . merupakan keyakinan mereka dalam membangun masyarakat, yakni suatu kelompok masyarakat eksklusif yang taat kepada hukum. Demikianlah konsep yang pada akhirnya terbukti tidak sesuai dengan masyarakat India.”
Itulah ungkapan salah seorang orientalis terkemuka mengenai hubungan antara kaum Muslim dan Hindu di India. Dan salah seorang yang mendukung dengan sepenuh hati analisis sesat tersebut adalah Maulana Abul Kalam Azad, pelopor persatuan kaum Hindu dan Muslim atas dasar nasionalisme modern dan sekularisme.
Maulana Abul Kalam Azad beruntung mendapat kesempatan dibesarkan dalam lingkungan yang sangat Islami. Ayahnya, Maulana Muhammad Khairuddin adalah seorang ulama terkemuka, yang menulis banyak buku dalam bahasa Arab dan Persia yang menjadi rujukan ribuan mahasiswa dari segala penjuru India. Setelah pecah perlawanan terhadap penjajah Inggris pada tahun 1857, ayah Maulana mengungsi meninggalkan kota asalnya, Delhi, bersama ribuan orang yang lainnya. Melalui bantuan murid kepercayaannya, ayah Maulana mengungsi ke Arab Saudi dan tinggal di Makkah. Di sana ia menikahi putri salah seorang ulama yang paling saleh dan ternama, seorang wanita yang sangat cerdas dan juga sangat alim. Dari pernikahan ini, Abul Kalam lahir pada tahun 1888. Karena ibunya hanya paham bahasa Arab, maka bahasa itu pula yang menjadi bahasa aslinya. Ia mendapatkan pendidikan dasar bukan dari sekolah, tetapi dari kedua orang tuanya serta para ulama Arab Saudi yang menjadi kolega ayahnya.
Dalam rangka memenuhi permintaan seorang muridnya, pada tahun 1898 ayah Maulana kembali ke India dan menetap di Calcutta. Dari sejumlah guru privat, Abul Kalam muda mendapatkan pendidikan bahasa Arab dan Persia, filsafat, ilmu manthiq, aritmatika, geografi, dan sejarah, yang biasanya baru dapat diselesaikan dalam waktu empat belas tahun. Namun, karena begitu cerdasnya Abul Kalam muda, ia dapat menyelesaikan pelajaran tersebut dalam waktu kurang dari empat tahun.
Memahami bahaya yang mengancam serta kejahatan yang dilakukan oleh negara imperialis Inggris, ayah Maulana menjadi penentang paling keras peradaban modern Barat dan segala sesuatu yang berasal darinya. Sistem pendidikan Inggris dan pemikiran Islam modern yang dipropagandakan oleh Sir Sayyid Ahmad Khan merupakan musuh besarnya.
Maulana Abul Kalam Azad memang seorang yang benar-benar luar biasa. Ketika ia baru berusia 12 tahun, ia pernah menyatakan niatnya untuk menulis biografi Imam al-Ghazali. Pada usia 16 tahun, ia sudah dikenal sebagai seorang yang ulama yang faqih. Dalam waktu luangnya ia sering menulis puisi dalam Bahasa Urdu yang sangat indah, dan sejak umur 14 tahun ia sudah dikenal di dunia jurnalistik dengan nama samaran Lisanus Shidq. Pada tahun 1904, ketika ia baru berusia 16 tahun, ia diundang oleh kelompok Anjuman-i-Himayat-i-Islam di Lahore untuk menyampaikan ceramah tahunan. Topik ceramahnya pada waktu itu adalah “Landasan Rasional Agama”. Di antara para pendengar ceramah terdapat orang-orang yang sangat terkenal pada waktu itu, seperti penulis Urdu, Nazir Ahmad dan para penyair, Hali dan ‘Allamah Iqbal. Ceramah Maulana Abul Kalam saat itu sedemikian berkesan, sehingga sejak peristiwa itu ia dikenal di seluruh India. Penyair Hali menyebutnya sebagai “otak orang dewasa di kepala anak-anak”.
Hingga periode akhir masa remajanya ia terus mempertimbangkan apa yang akan ia geluti dalam kehidupannya. Yang menjadi fokus utama pemikirannya adalah masa depan Islam dan bagaimana ia dapat membantu saudara-saudaranya yang seakidah. Maka, pada tahun 1912, ketika ia baru berusia 24 tahun, ia memutuskan untuk terjun ke dunia jurnalistik dengan menerbitkan “al-Hilal”, sebuah majalah mingguan berbahasa Urdu dengan misi menyerukan persatuan pan-Islam dan mengungkapkan agenda-agenda jahat kaum imperialis Inggris ke seluruh dunia Islam.
Penerbitan mingguan ini sebenarnya terinspirasi oleh majalah al-Urwah al-Wutsqa yang diterbitkan oleh Jamaluddin al-Afghani. Di dunia jurnalistik ini, Abul Kalam Azad bisa membuktikan diri sebagai seorang yang memiliki kemampuan sastra sangat tinggi. Di dalam majalah ini, dengan retorika yang sangat persuasif, ia menentang pemikiran-pemikiran gerakan Aligarh yang dipelopori Sir Sayyid Ahmad Khan dan semua produk yang berasal dari pemikiran tersebut. Ia menentang sistem pendidikan modern dan segala bentuk Westernisasi. Bila ada yang bertanya mengenai aliran yang ia anut, aliran garis keras atau aliran politik yang moderat, maka ia akan mencemooh siapa pun yang menyerukan ketaatan kepada konsep selain Islam. Karena, mereka (umat Islam) adalah umat yang dipilih Allah dan memiliki jalan yang membimbing mereka dengan jelas. Secara konsisten ia menyatakan bahwa tidak ada yang ia anut kecuali al-Qur’an yang suci, dan terus menerus mengajak kaum Muslim untuk melakukan hal yang sama. Pernyataan-pernyataannya itu membakar semangat kebangkitan Islam di seluruh India, dan membuat pemikiran-pemikiran Sayyid Ahmad Khan yang cenderung apologetik, serta seluruh upaya menyesuaikan Islam dengan filsafat modern kehilangan daya tariknya. Sebelum al-Hilal dibredel oleh penjajah Inggris dan Abul Kalam dipenjara, tiras majalah itu mencapai jumlah 25 ribu eksemplar.
Pembebasan Abul Kalam dari penjara pada tahun 1920 menandai titik balik dalam kehidupannya. Sejak saat itulah pandangan keagamaan Abul Kalam berubah 180 derajat, sampai-sampai masa depan kaum Muslim seolah tidak lagi menjadi urusannya. Ia tidak lagi menaruh minat pada perjuangan membentuk masyarakat Islam sejati di India, tetapi justru menganjurkan persatuan Hindu – Muslim demi tujuan nasionalisme sekular. Ia menyatakan, “Saya adalah salah seorang yang percaya bahwa kebangkitan boleh jadi merupakan kebutuhan dalam suatu agama; tetapi dalam urusan-urusan sosial, hal itu adalah sebuah pengingkaran terhadap kemajuan!”
“Sampai dengan 1920-1921, Maulana Abul Kalam Azad adalah pejuang kebangkitan Islam dan aktivis harakah Khilafah yang penuh semangat, tetapi setelah itu pemikiran dan tindakannya berbalik 180 derajat. Berubah sedemikian drastis sehingga banyak orang yang merasa perlu mengusap mata untuk meyakinkan penglihatan mereka, apakah ia Azad yang sama atau –karena suatu proses metamorfosis– ada pribadi lain yang muncul dalam tubuh Azad. Abul Kalam Azad yang sekarang adalah seorang nasionalis India tulen dan penganjur persatuan Hindu – Muslim yang sangat bersemangat. Ia memadukan teori kesatuan agama-agama sebagaimana yang diungkapkan sejumlah filosof Hindu dengan teori evolusi biologi yang berasal dari Barat. Gambaran teori tersebut dapat dilihat dengan jelas pada tafsir al-Qur’an yang ia susun.”
Berdasarkan keyakinannya bahwa keselamatan kaum Muslim India sangat tergantung dengan penerimaan mereka terhadap nasionalisme dan sekularisme, Maulana Abul Kalam Azad bergabung dengan Partai Kongres Nasional India dan menjadi sahabat terdekat Mahatma Gandhi.
“Demi tujuan kemerdekaan India dan gerak perjuangan saat ini,” ia menyatakan, “Saya sepenuhnya sepakat dengan semua pemikiran Mahatma Gandhi, dan saya sangat yakin dengan kejujurannya. Inilah keyakinan saya, bahwa India tidak akan mampu meraih keberhasilan melalui perjuangan bersenjata, dan tidak layak kita menggunakan cara ini. India hanya akan dapat meraih kemenangan melalui perjuangan tanpa kekerasan, dan kemerdekaan India akan menjadi kenangan abadi kemenangan gerakan moral.”
Setelah Mahatma Gandhi menghentikan gerakan Khilafah pada tahun 1922 dan gagal mencegah kerusuhan massal yang mengakibatkan hilangnya nyawa ribuan Muslim, mayoritas anggota Partai Kongres yang beragama Islam, seperti Maulana Muhammad Ali (saudara kandung Abul Kalam Azad), Syaukat Ali, dan Qaid al-Azam merasa kecewa, dan satu demi satu keluar dari partai. Meski demikian, Maulana Abul Kalam Azam tetap bertahan, bahkan menjadi ketua partai selama hampir dua puluh tahun dan menjadi pembela partai yang paling setia.
“Tuan Ali Jinnah menuduh bahwa kebijakan Partai Kongres jelas-jelas anti-Muslim; bahwa partai bermaksud menghancurkan peradaban kaum Muslim, terus-menerus mengganggu kehidupan relijius dan sosial umat Islam, dan selalu menginjak-injak hak-hak politik dan ekonomi orang-orang Islam. Sebelum ini saya sudah sering menyatakan dan kembali mengulang pernyataan itu dengan penuh tanggung jawab, bahwa semua tuduhan terhadap Partai Kongres sama sekali tidak beralasan. Adalah dusta yang amat besar bila mengatakan bahwa kebijakan Partai Kongres bersifat anti-Islam, serta menginjak-injak hak-hak keagamaan, politik, dan ekonomi kaum Muslim. Bila Tuan Jinnah dan rekan-rekannya mengatakan demikian atas dasar kemaslahatan kaum Muslim, maka saya ingin mengatakan dengan penuh kesungguhan, bahwa sejatinya mereka tengah melakukan hal yang sebaliknya; mereka baru dapat disebut memberikan kontribusi nyata, apabila mereka mengubah pandangan tersebut secepatnya; kontribusi nyata yang sangat dibutuhkan kaum Muslim India pada saat ini.”
Setelah kemerdekaan India pada tahun 1947, Maulana Abul Kalam Azad diangkat menjadi Menteri Pendidikan hingga meninggalnya pada tahun 1958. Alih-alih menyusun sistem pendidikan bagi kaum Muslim India berdasarkan akidah Islam, ia malah justru memilih berbagai pemikiran Barat seperti penggunaan abjad Latin bagi bahasa Urdu dan bahasa-bahasa bangsa India lainnya.
Tidak ada tokoh Muslim di India yang lebih keras menentang pembentukan negara Pakistan ketimbang Maulana Abul Kalam Azad. Dalam masalah ini, ia mengemukakan alasan sebagai berikut:
“Usulan Liga Muslim tentang pembentukan negara Pakistan merupakan usulan yang fantastis. Mereka yang mengajukan usul ini sama sekali telah mengabaikan mata rantai sejarah, etnologi, dan kecenderungan zaman modern ini. Bila mereka berpendapat bahwa kaum Hindu dan Muslim adalah dua kaum yang berbeda, maka timbul pertanyaan besar. Nenek moyang sebagian besar dari kita adalah sama, dan saya tidak sepakat dengan teori tentang ras yang unggul dan ras yang terbelakang. Umat manusia adalah ras yang satu, dan kita harus hidup secara harmonis satu sama lain. Demikianlah Tuhan menciptakan kita lebih dari seribu tahun lalu. Dulu kita pernah mengalami perang saudara. Kita lihat pula, bagaimana antar sesama orang Inggris berperang dalam Perang Mawar. Namun mereka tidak pernah mempunyai keinginan untuk hidup dalam negara yang terpisah. Selama seribu tahun ini, kita telah saling bekerjasama demi kepentingan ruhani, peradaban, moral, dan material kita bersama. Tuan Jinnah dan para simpatisan Liga Muslim ingin memutar jarum jam ke belakang. Tidak ada gunanya mempertajam perbedaan. Setiap orang yang cinta damai harus memperkokoh persamaan. Yang saya benci adalah pendekatan komunal untuk menyelesaikan permasalahan nasional. Konstitusi yang nantinya disusun oleh para wakil rakyat India, orang-orang Hindu maupun Islam harus memikirkan kedudukan dan kepentingan mereka, bukan sebagai orang Hindu atau Islam, tetapi sebagai seorang petani, buruh, kapitalis, dan sebagainya ….”
Ketika pada akhirnya konsep nasionalisme sekular yang diyakini bertabrakan dengan konsep masyarakat Islam, Abul Kalam Azad menggunakan seluruh kemampuannya sebagai seorang ulama dalam menyajikan dalil-dalil agama untuk menjustifikasi segala tindakannya.
“Mengapa kaum Muslim harus bergandengan tangan dengan umat Hindu dalam perjuangan politik di negeri ini? Al-Qur’an telah membolehkan seorang Muslim untuk menikahi wanita Nasrani atau Yahudi, untuk kemudian keduanya harus saling mencintai dan tidak boleh ada ikatan cinta kasih lain di luar ikatan pernikahan tersebut. Andaikata al-Qur’an sama sekali melarang seorang Muslim menjalin hubungan dengan orang-orang non-Muslim, bagaimana mungkin Allah membolehkan seorang Muslim menjadikan seorang wanita non-Muslim sebagai ratu di rumah tangganya dan menyerahkan seluruh urusan duniawi kepadanya? Di sinilah letak kunci persatuan Hindu dan Muslim.”
Sungguh mengherankan ungkapan bernada apologetik seperti ini keluar dari lisan seorang yang alim. Izin yang diberikan bagi seorang Muslim untuk menikahi wanita yang tidak seakidah dengannya hanya dibatasi pada wanita Nasrani dan Yahudi, atau wanita-wanita Ahlul Kitab. Al-Qur’an melarang seorang Muslim menikahi wanita musyrik, termasuk yang beragama Hindu. Seorang Muslim boleh menikahi wanita yang tidak seakidah, dengan syarat bila laki-laki Muslim itu mampu menjadi kepala keluarga dan anak-anaknya akan dididik sebagai Muslim. Selain itu, berulang kali al-Qur’an menekankan agar kaum Muslim menaruh kepercayaan hanya kepada orang-orang mukmin, dan mengingatkan bahwa siapa saja yang menjadikan orang kafir sebagai pelindung orang-orang mukmin maka ia telah berdosa besar. Di samping itu, tidak ada perbedaan akidah yang lebih besar dari pada perbedaan kepercayaan syirik Hindu dengan Islam, dan Maulana Abul Kalam Azad mengabaikan fakta bahwa tidak mungkin ada persatuan sejati antar manusia yang tidak memiliki kesamaan akidah.
Demikian bersemangatnya Abul Kalam Azad dalam memperjuangkan nasionalisme sekuler, sampai-sampai ia pernah mengingatkan kaum Muslim di India bahwa orang-orang Hindu merasa tersinggung bila kaum Muslim menyembelih sapi untuk keperluan makan sehari-hari maupun untuk keperluan ibadah kurban pada hari raya Idul Adha. Oleh karena itu, demi persatuan umat Hindu dan Muslim, Abul Kalam Azad meminta kaum Muslim untuk menyadari bahwa menyembelih sapi –meski untuk keperluan kurban– bukanlah suatu hal yang prinsip dalam agama Islam. Begitu pula ia berusaha meyakinkan rekan-rekannya yang beragama Hindu, bahwa banyak di kalangan umat Islam yang tidak lagi makan daging sapi serta berusaha mengajak rekan-rekan mereka untuk mengurangi konsumsi daging sapi “hanya sekedar untuk menunjukkan ikatan persaudaraannya dengan orang-orang Hindu”. Ia berharap dalam waktu yang tidak lama lagi orang-orang Hindu maupun Islam mulai melonggarkan berbagai pantangan yang acapkali membuat keduanya saling bersitegang.
Karya Maulana Abul Kalam Azad yang paling terkenal, yang menjadi sumber rujukan untuk menjustifikasi berbagai aktivitasnya, adalah kitab tafsir al-Qur’an berbahasa Urdu yang belum sempat diselesaikannya. Pesan utama yang ia sampaikan dalam kitab tersebut adalah bahwa semua agama itu sama benar, dan hanya para penganutnya yang terhanyut dalam kesesatan. Ia berpendapat bahwa semua agama di dunia ini pada hakikatnya berasal dari sumber yang sama.
“Mereka berbeda satu dengan yang lain bukan pada akarnya, tetapi hanya pada cabang dan daun-daunnya; bukan pada jiwanya, tetapi hanya pada kulit luar atau tubuhnya saja. Ritual keagamaan dan peribadatan yang ada memang beraneka ragam, dan akan semakin bervariasi mengikuti perkembangan waktu dan tempat; tetapi Tuhan dengan kebijaksanaannya sengaja menciptakan keanekaragaman ini. Sejatinya, agama hanya ada satu; namun bentuk luar peribadatan dan ritualnya berbeda-beda, sehingga setiap orang berpendapat agamanya lebih unggul dari agama orang lain. Mereka tidak pernah melihat dengan cara berpikir seperti ini dari sudut penganut agama lain. Jadi kalau di mata anda cara peribadatan anda adalah yang terbaik, demikian pula pendapat orang lain atas cara peribadatan mereka. Oleh karena itu, toleransi merupakan satu-satunya penyelesaian.”
Konsep bahwa semua agama itu benar adalah pemikiran Hindu yang tidak mendapat tempat dalam al-Qur’an. Bahkan al-Qur’an menyatakan dengan jelas dan muhkamat bahwa, barangsiapa menganut pandangan hidup selain Islam, maka tidak akan mendapat keselamatan (akhirat) dari Allah.
“Sebenarnya, kaum Muslim India menghadapi masalah yang sama sekali baru dan sangat besar; yaitu bagaimana caranya hidup bersama dengan umat lain secara sederajat . . . Masalahnya adalah bahwa doktrin-doktrin Islam dari masa lalu tidak memberikan panduan yang jelas tentang hal ini. Dan keadaan ini semakin kompleks karena kasta-kasta Hindu yang hidup bersama mereka juga belum siap untuk hidup bermasyarakat dengan umat lain. . . . Kami yakin bahwa kesejahteraan masyarakat Muslim di India, secara jasmani maupun ruhani, terletak pada keikutsertaan mereka secara kreatif dalam segala urusan negara baru ini . . . Berdasarkan pengamatan kami, inilah yang terjadi selama lima tahun terakhir ini, sekalipun memang terdapat berbagai kesulitan yang menghalangi. Di antara berbagai faktor yang menyebabkan hal ini, sekularisme adalah faktor yang paling utama. Keberhasilan sekularisme ini, sekalipun bersifat parsial, namun merupakan faktor yang paling mendasar. Tidak perlu pemikiran yang mendalam . . untuk dapat menyadari bahwa kelangsungan hidup dan kesejahteraan kaum Muslim sangat tergantung pada sekularitas negara. Keterlibatan nilai-nilai agama dalam masalah negara tidak akan dapat menghasilkan keberhasilan. Nampaknya, tinggal sebagian kecil kaum Muslim (sekalipun di India) yang tetap setia dengan konsep negara Islam . . Apapun pendapat teologi tradisional, sekularisme terbukti sukses . . .
Pada tahun-tahun berikutnya, semenjak pernyataan di atas diungkapkan, berbagai kejadian di India membuktikan kekeliruan pemikiran “bijak” tersebut. Sekularisme tidak berhasil melindungi kaum Muslim. Bahkan sebaliknya, negara sekular tersebut menguasai kaum Muslim, khususnya di Kashmir, dimana kaum Muslim dikejar-kejar dan dibantai. Demikianlah, jalan yang diambil Maulana Abul Kalam Azad, telah membuat masyarakat Muslim di India hancur dan tercerai berai. Gara-gara tidak mampu memperhitungkan akibat yang timbul dari tindakannya menjalin kerjasama dan menyerahkan kepercayaan kepada mayoritas umat Hindu –dengan maksud untuk membebaskan diri dari penjajahan Inggris– Maulana Abul Kalam Azad telah membuat kaum Muslim terperosok dari satu penjajahan ke penjajahan berikutnya.
Setelah meninggalnya, Maulana Abul Kalam Azad mewariskan sekelompok Muslim pengkhianat. Antara lain adalah Chagla, seorang mantan Menteri Luar Negeri pada masa yang sama ketika seorang Menteri Pendidikan menyerukan kepada Pemerintah India untuk menghapuskan hukum-hukum Islam, melarang poligami dan purdah, serta menghapuskan sanksi atas pernikahan seorang muslimah dengan seorang lelaki non-Muslim yang diharamkan. Untuk menyukseskan program keluarga berencana, secara terbuka ia pernah menyerukan legalisasi aborsi dan mewajibkan vasektomi kepada para suami yang telah memiliki lebih dari tiga orang anak. Selain itu, ketika sedang hangat-hangatnya Perang India – Pakistan (6 – 24 September 1965), ia mengungkapkan dengan penuh kebanggaan di Radio All-India bahwa nenek moyangnya adalah kaum Hindu.
Kemudian ia menuding bahwa sebagian besar kaum Muslim di Pakistan berasal dari ras Hindu dan seharusnya merasa bangga dengan asal-usul mereka itu. Ketika Dr. Zakir Hussain menduduki tampuk kepresidenan, ia melakukan beberapa hal yang berlebihan sekedar untuk menyenangkan hati tokoh-tokoh Hindu. Setelah menunjukkan rasa hormatnya kepada seorang pendeta Hindu yang terkemuka dengan cara mengalungkan rangkaian bunga dan mencium kakinya, ia menyampaikan pidato pelantikan dalam Bahasa Sansekerta. Kini, salah seorang cucu perempuannya berniat melangsungkan pernikahan dengan salah satu anak mantan Perdana Menteri India Indira Gandhi. Ia mendukung sepenuhnya rencana ini. Ia juga dilaporkan sesekali memuja dewa Hindu, Wishnu. Selain itu, ada pula M.O.H. Faruq –Menteri Utama Negara Bagian Pondicherry– yang pernah menyatakan dalam sebuah majalah mingguan berbahasa Tamil, Kalkandu, pada tanggal 24 Agustus 1967 bahwa “sebuah kekuatan yang luar biasa” telah mendorongnya untuk memuja dewa Hindu, Muruga. Ia mengaku tertarik dengan dewa tersebut dan akan mengajak anaknya untuk memuja dewa tersebut. Majalah India lainnya menyatakan bahwa “suatu perubahan penting telah terjadi di kalangan Muslim yang berwawasan luas dan progresif, dan Menteri Utama Negara Bagian Pondicherry merupakan contoh utama.” Lainnya adalah Sadiq –Perdana Menteri Negara Bagian Kashmir– yang secara terbuka menjalin kerjasama dengan Partai Jana Singh yang fasis, untuk membantai kaum Muslim di Kashmir. Inilah fenomena sekularisme di India!
Referensi:
Abul Kalam Azad: A Memorial Volume, Humayun Kabir, Asia Publishing House, Bombay, 1959
Modern Muslim India and the Birth of Pakistan, Dr. S.M. Ikram, Syaikh Muhammad Ashraf, Lahore, 1959, hal. 142 – 157
India Wins Freedom, Abul Kalam Azad, Orient Longmans, Calcutta, 1959
The Tarjuman ul-Qur’an, Abul Kalam Azad, terjemahan Inggris oleh Syed Abdul Latif, Asia Publishing House, Bombay, 1962. (Penulis mencoba membuktikan kesesuaian al-Qur’an dengan teori evolusi modern dari Barat, dan juga menunjukkan kesahihan semua agama sebagaimana ajaran para filsuf Hindu. Ini merupakan karya klasik ulama modernis yang paling penting. Karya seperti ini harus dibaca secara hati-hati, karena –sengaja atau tidak– bisa membahayakan pemikiran Islam dan kaum Muslim)